SOLO, solotrust.com – Kasus ego sektoral masih menghantui persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, sebab bisa menjadi pemicu perpecahan, di mana berbagai kepentingan pribadi maupun kelompok saling beradu memperebutkan kekuasaan, termasuk kaitannya dengan isu radikalisme dan terorisme yang menjadi musuh utama negara.
Dosen Prodi Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Muhammad Rohmadi menilai ego sektoral muncul karena adanya rasa tidak saling memahami dalam berbangsa dan bernegara.
Baca: Dosen UNS: Ratu Lisa Bisa Tangkal Radikalisme
Dalam dunia pendidikan, sejatinya ego sektoral dapat dikikis sejak usia dini, bagaimana peran guru membangun literasi humanistik,mengajarkan cara bersilaturahmi satu sama yang lain, memahami karakterisik satu dengan yang lain. Karena manusia diciptakan sebagai makhluk sosial dihadapkan dengan budaya di masyarakat, jika rasa kebersamaan tidak ditanamkan sejak dini maka berpotensi mudah dirasuki paham-paham yang merusak negara.
“Jangan sampai beda kelas tidak mengenal, bermusuhan, konsep literasi humanistik ini yang harus dibangun, teknik berkomunikasi yang baik, mengayomi, tidak menggurui dan menyakiti, senyum salam sopan santun, bergotongroyong, toleransi, belajar menghargai orang lain sejak dini dapat mengikis ego sektoral dalam diri pribadi maupun kelompok. Namun harus ada aksi nyata di masyarakat, kita harus paham tidak ada yang beda dari pangkat jabatan yang kita miliki, tapi kita semua sama orang Indonesia,” ucap Rohmadi kepada solotrustcom saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (9/12/2019)
Selain itu, Rohmadi juga kerap bersosialisasi pentingnya budaya membaca dan menulis berkaitan dengan wawasan kebangsaan dan nusantara, bahwa menghadapi kasus ego sektoral dan radikalisme tidak semudah membalikkan telapak tangan manusia, dibutuhkan sebuah esensi pemahaman kecintaan berbangsa dan bernegara yang ditanamkan sejak dini.
Di samping itu, informasi yang beredar di masyarakat kini tidak lagi hanya melalui media massa konvensional, seperti media cetak dan elektronik. Namun juga dibanjiri media online yang berkembang pesat, media sosial harus disikapi secara bijak agar anak-anak usia dini tidak mudah terprovokasi.
Penulis buku Guru dan Dosen Abad XXI itu juga menyampaikan pentingnya mencari keabsahan isu dan berita, pemerintah harus memiliki acuan yang jelas memberikan kedaulatan belajar kepada anak didik, di samping itu, sekolah menjadi role model bagi anak didik, sebagaimana diketahui pilar pendidikan adalah sekolah, masyarakat dan orang tua.
“Harus ada edukasi yang jelas di masyarakat agar tidak mudah terasuki paham-paham yang berseberangan dengan dasar negara, setelah mendengar, membaca, diklarifikasi, diangulasi cek keabsahan, seperti yang dikatakan Menteri Nadiem Makarim bahwa murid harus belajar dengan merdeka dan guru sebagai penggerak,” tutup dia. (adr)
(wd)