JAKARTA, solotrust.com - Direktur Pencegahan Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan Cut Putri Ariane menyebutkan sebelum pandemi, penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit katastropik dengan penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Hal ini mengakitbatkan hilangnya hari produktif bagi penderita dan pendamping.
Lebih lanjut, Cut Putri menjelaskan saat ini tren PTM semakin meningkat dan menyerap biaya terbesar dalam JKN.
''Kalau kita lihat, jantung koroner merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi, diikuti kanker, diabetes militus dengan komplikasi, ada tuberculosis, kemudian PPOK,'' kata dia di Graha BNPB, Jakarta baru-baru ini.
Sementara itu dari penelitian yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan saat ini perkembangan PTM di Indonesia kian mengkhawatirkan. Pasalnya peningkatan tren PTM diikuti oleh pergeseran pola penyakit. Jika dulu penyakit jenis ini biasanya dialami kelompok lanjut usia, kini mulai mengancam kelompok usia produktif.
''PTM sangat memprihatikan karena kalau dulu anggapannya kan pada orang tua, tapi sekarang trennya mulai naik pada usia sepuluh sampai 14 tahun,'' kata Cut Putri di Graha BNPB, Jakarta baru-baru ini.
Ancaman ini, menurutnya akan berdampak besar bagi SDM dan perekonomian Indonesia ke depan. Pasalnya, pada 2030 hingga 2040 mendatang, Indonesia akan menghadapi bonus demografi di mana usia produktif jauh lebih banyak ketimbang kelompok usia nonproduktif.
Namun, apabila tren PTM usia muda naik, upaya Indonesia untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas menuju Indonesia maju pada 2045 mendatang, sulit tercapai.
''Kita kan sebentar lagi menghadapi bonus demografi, jadi yang kita harapkan pada usia-usia produktif yang tidak hanya cerdas secara akademis, tapi juga sehat karena sehat itu modal awal produktivitas,'' terangnya.
Cut Putri mengungkapkan masih tingginya prevalensi PTM di Indonesiar disebabkan gaya hidup tidak sehat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan 95,5% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian 33,5% masyarakat kurang aktivitas fisik, 29,3% masyarakat usia produktif merokok setiap hari, 31% mengalami obesitas sentral serta 21,8% terjadi obesitas pada dewasa.
''Perilaku kita di era teknologi sekarang ini, ternyata tidak semakin baik. Mungkin momentum ini yang mengingatkan kita semua bahwa ketika imunitas tubuh kita turun, orang semakin banyak yang peduli untuk mengubah gaya hidup,'' tutur dia.
Cut Putri menekankan perubahan gaya hidup harus dilakukan sedini mungkin sebagai investasi kesehatan masa depan. Pun dengan pengendalian faktor risiko juga harus dilakukan sedini mungkin. Masyarakat harus memiliki kesadaran kesehatan agar tahu kondisi badannya agar semakin mudah diobati sehingga tidak terlambat.
''Jangan lupa deteksi dini, untuk orang sehat merasa dirinya tidak memiliki keluhan, belum tentu tetap sehat, lakukan skrining minimal enam bulan sampai satu tahun sekali,'' kata Cut Putri, dilansir dari laman resmi Kementerian Kesehatan RI, kemkes.go.id.
(redaksi)