SOLO, solotrust.com – Beberapa hari yang lalu, atau tepatnya pada Kamis (17/2) Kota Solo memperingati Hari Jadi yang ke-277. Pemerintah Kota (Pemkot) Solo menggelar serangkaian acara, mulai dari upacara, Festival Jenang, Kirab Boyong Kedhaton, hingga Opera Adeging Kutha Sala (baca: Sålå).
Namun, ada beberapa versi sejarah yang menyatakan bahwa sejatinya Hari Jadi Kota Solo tidak jatuh pada 17 Februari. Ketua komunitas sejarah Solo Societeit, Dani Saptoni, merupakan salah satu pengamat sejarah yang meragukan hari jadi yang ditetapkan secara umum tersebut.
Hal tersebut, dikatakannya, karena hari jadi Kota Solo mengacu pada hari kepindahan keraton Mataram Islam dari Kartasura menuju Desa Sala (baca: Sålå), atau di hari yang sama ketika Raja Mataram Islam atau Kasunanan Kartasura Hadiningrat kala itu Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) II mendeklarasikan nama “Surakarta Hadiningrat” nama resmi dari keraton di Sala.
“Pakubuwono II mendeklarasikan nama Surakarta itu ada dalam satu rangkaian di hari yang sama,” kata Dani saat ditemui Solotrust.com Rabu (16/2).
Pun, pada perayaan Hari Jadi Kota Solo, perpindahan keraton tersebut juga menginspirasi salah satu rangkaian acara HUT Solo oleh pemkot dalam Kirab Boyong Kedhaton, yang dilengkapi aksi teatrikal pendeklarasian nama “Surakarta Hadiningrat” oleh PB II di Balai Kota Solo, Kamis (17/2).
Lebih lanjut, dijelaskan Dani, mengacu pada Babad Giyanti, perpindahan tersebut dilakukan pada hari Rabu 17 Suro 1670 tahun Jawa, atau berarti 20 Februari 1745.
“Mengacu pada Babad Giyanti ; bertepatan hari Rabu pagi, tanggal 17 Suro, dengan sengkalan 1670 tahun Je, Jawa, itu yang sebenarnya 20 Februari 1745. Tapi nggak tahu kenapa saya selalu menemukan 17 Februari 1745,” jelas Dani.
Selain versi 17 Februari yang ditetapkan secara umum, dan versi 20 Februari menurut beberapa pakar sejarah, Dani juga menyebut satu lagi versi hari jadi Kota Solo, yakni setahun setelah kepindahan keraton Kartasura ke Desa Sala atau saat bangunan inti keraton Kasunan selesai dibangun, pada 1946 mengacu pada catatan Gubernur Jenderal Belanda, Gustaff Willem Baron van Imhoff.
“Beberapa pakar yang mengatakan justru ulang tahun Solo bukan 17 Februari 1945 karena mengacu pada catatan Gubernur Jenderal Belanda (Gustaaf Willem baron van Imhoff) yang waktu itu berkunjung ke Surakarta dia melihat meski keraton sudah dipindah di sini (Desa Sala) tapi keraton ini belum jadi. Bangunan inti dibangun selesai satu tahun setelah kepindahan,” lanjutnya.
Namun, Dani meragukan versi terakhir tersebut, menurutnya, jika Hari Jadi Kota Solo mengacu pada pembangunan selesai hal tersebut kurang relevan. Dikatakannya, pembangunan keraton masih berlanjut di raja-raja Kasunanan selanjutnya.
“Bahkan pembangunan tembok Baluwarti itu sampai Pakubuwono IV, Pakubuwono VII juga bangun tembok terus,” tegasnya.
Terkait hal ini, Dani berharap beberapa pihak terkait mengadakan kajian ulang perihal Hari Jadi Kota Solo agar tidak ada lagi kekeliruan. Kendati, baginya hal itu sudah terlanjur menjadi tradisi serta agenda tahunan Pemkot Solo.
“Itu yang sebenernya perlu ada kajian ulang, ora perlu direvisi nggak apa-apa, tapi perlu ada kajian ulang,” tandasnya. (dks)
(zend)