Solotrust.com - Indonesia dengan bentang alam yang elok dan keragaman budayanya, menyimpan harapan untuk menghadirkan ruang hidup yang sehat bagi seluruh warganya. Harapan itu diwujudkan melalui Program Kabupaten/Kota Sehat (KKS), sebuah gerakan kolaboratif lintas sektor yang bertujuan membangun tatanan kehidupan yang lebih sehat, nyaman, dan berdaya tahan. Namun, di balik keberhasilan yang patut diapresiasi, masih tersisa catatan strategis: regulasi yang belum kokoh dan capaian yang belum merata.
Dasar formal penyelenggaraan KKS di Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1138/Menkes/SK/VIII/2005 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2005, sebuah peraturan bersama yang merumuskan pedoman operasional dan menyusun sembilan tatanan KKS (kabupaten/kota sehat): permukiman, sarana/prasarana umum, lalu lintas dan transportasi, industri/perkantoran, pariwisata, ketahanan pangan & gizi, kehidupan masyarakat mandiri, kehidupan sosial sehat, perlindungan sosial dan penanggulangan bencana. Regulasi ini memberi arah agar upaya kota sehat bersifat holistik dan lintas-sektor.
Regulasi tersebut adalah kerangka harapan yang indah, bercorak ideal, yang harus dirajut dengan benang nyata ; indikator, data dan tindakan agar cahaya kota sehat menyala di seluruh penjuru. Sampai hari ini, di antara regulasi teknis dan capaian administratif, belum ada Peraturan Presiden (Perpres) yang secara eksplisit mengatur penyelenggaraan KKS dengan nuansa bijak dalam kebijakan dan anggaran yang memadai, sehingga realisasi di lapangan belum selalu sepadan dengan regulasi yang ada. Kekosongan regulasi ini berdampak pada lemahnya payung hukum, ketidakpastian alokasi anggaran, serta kurangnya integrasi dalam RPJMN maupun agenda pembangunan nasional. Dengan kata lain, regulasi ada, tetapi belum cukup kuat untuk menembus batas birokrasi dan menjadikan KKS sebagai prioritas nasional
Apabila dilihat dari data, KKS memang telah menorehkan capaian berarti. Kementerian Kesehatan (2022) mencatat bahwa dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 270 daerah (52,5%) yang aktif mengikuti penilaian KKS. Dari jumlah itu, tidak semua berhasil meraih penghargaan tertinggi Swasti Saba Wistara. Beberapa capaian indikator dapat dicermati :
- Akses sanitasi layakmeningkat dari 70% (2015) menjadi 87% (2022). Namun, masih ada kesenjangan: perkotaan mendekati 95%, sedangkan perdesaan baru mencapai 78%.
- Kawasan pemukiman sehatrata-rata baru menyentuh 65% dari target RPJMN 2024 sebesar 90%.
- Tatanan transportasi sehatmasih rendah, dengan capaian <40%, salah satunya karena keterbatasan transportasi publik ramah lingkungan.
- Kawasan industri sehatbaru tercapai sekitar 55%, dengan banyak industri kecil belum memenuhi standar pengelolaan limbah.
Data tersebut menunjukkan adanya paradoks: di satu sisi, ada tren positif menuju kota sehat; di sisi lain, capaian belum konsisten, bahkan seringkali bergantung pada komitmen kepala daerah.
Program KKS tidak bisa hanya dibaca dalam angka. Ia adalah cerita kolektif tentang bangsa yang belajar menata ruang hidupnya. Banyak daerah telah menorehkan teladan. Kota Surabaya berhasil memperluas ruang terbuka hijau hingga 21,6% dari luas wilayahnya, melampaui rata-rata nasional. Denpasar menguatkan tatanan pariwisata sehat berbasis budaya lokal. Yogyakarta menjadi pionir dalam pengelolaan kawasan heritage yang sehat.
Meskipun demikian, ada catatan koreksi yang harus disampaikan sebagai benang merah regulasi dan realitas. Tanpa Perpres, KKS sering diperlakukan sebagai program sektoral, bukan prioritas pembangunan nasional. Indikator yang digunakan masih cenderung administratif, belum sepenuhnya berbasis dampak nyata pada kualitas hidup masyarakat. Padahal, jika KKS ingin sejalan dengan SDGs 2030, indikator harus menyentuh hal-hal mendasar: udara bersih, air minum aman, sanitasi layak, dan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim.
Beberapa masalah strategis yang patut mendapatkan perhatian dalam dinamika KKS antara regulasi dan realitas adalah:
- Kekosongan regulasi tingkat tertinggi: meski keputusan bersama pada Kepmenkes dan Kepmendagri telah menetapkan pedoman dan sembilan tatanan sejak tahun 2005, belum ada Perpres yang memberi payung hukum lebih tinggi yang menyatukan lintas kementerian/instansi dan menjamin kesinambungan politik dan anggaran.
- Partisipasi dan penyelenggaraan belum merata antar daerah: data Profil Kesehatan dan laporan kementerian menunjukkan bahwa meskipun hampir semua provinsi telah memiliki beberapa kabupaten/kota yang aktif, sejumlah daerah masih belum terlibat atau baru ikut secara programatik dan belum memenuhi semua tatanan.
- Indikator dan target yang belum selalu jelas atau terukur dalam semua tatanan: beberapa tatanan menunjukkan pencapaian yang baik, sementara beberapa lainnya jauh di belakang. Ketersediaan data dukung juga belum selalu memadai.
- Ketergantungan pada penghargaan dan momentum penilaian: beberapa kabupaten/kota tampak aktif menjelang penilaian Swasti Saba, kemudian aktivitasnya melambat setelah penghargaan diberikan, sehingga aspek keberlanjutan menjadi tantangan.
KKS adalah lentera yang telah menyala, namun cahaya itu belum merata. Regulasi Kepmenkes 1138/2005 dan Kepmendagri 34/2005 telah memberi kerangka sembilan tatanan yang mulia. Realitas tahun 2024 menunjukkan hampir 387 kabupaten/kota aktif menyelenggarakan KKS, dengan beberapa indikator yang mulai menunjukkan lompatan kualitas. Namun, target nasional belum sepenuhnya tercapai, kesenjangan antar daerah masih nyata, dan belum adanya Perpres menjadi celah regulasi yang memerlukan pengisian.
Harapan masa depan adalah agar regulasi bisa diperkuat ke level presiden, agar capaian serta target dapat dijadikan tolok ukur yang adil dan realistis, dan agar setiap warga dari kota hingga desa terpencil mendapat manfaat nyata dari Kabupaten/Kota Sehat. Karena sesungguhnya, kota atau kabupaten yang sehat bukan hanya mereka yang meraih penghargaan, tetapi mereka yang berhasil menjadikan kesehatan lingkungan, fisik, mental, sosial sebagai napas kehidupan sehari-hari
Membaca ulang dinamika KKS adalah membaca sebuah jati diri tentang bangsa yang sedang belajar menyeimbangkan regulasi dan realitas. Program ini telah membawa banyak cahaya, meski belum sempurna. Ada penghargaan yang layak disampaikan, ada pula koreksi yang harus diterima dengan rendah hati.
Di ujungnya, yang kita harapkan bukan sekadar kabupaten/kota yang memperoleh penghargaan Swasti Saba, melainkan Indonesia yang benar-benar sehat: dalam udara yang dihirup, air yang diminum, dan ruang hidup yang diwariskan untuk generasi mendatang.
*) Oleh: Arif Sumantri. Penulis adalah Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta/Ketua Umum PP HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)/Ketua Komite Ahli PMKL (Penanganan Masalah Kesehatan Lingkungan) Kementerian Kesehatan
(and_)