SOLO, solotrust.com- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) baru-baru ini menerbitkan Permen LHK nomor P20/2018 tentang sejumlah tumbuhan dan satwa yang masuk kategori dilindungi. Beberapa di antaranya termasuk spesies burung kicau. Hal itu mengundang reaksi penolakan para pedagang burung dan komunitas kicaumania di Solo Raya.
"Aturan ini jelas memberatkan, karena bagi penangkar atau pemelihara diwajibkan untuk mengurus izin penangkaran dan untuk kepengurusan surat izin tidak mudah, berbelit-belit, dan membutuhkan waktu lama, belum lagi biaya, selain itu, setiap lima tahun sekali izin harus diperpanjang," ujar Pengurus Paguyuban Murai Batu Solo Raya (PMBS), Herlan Susanto kepada solotrust.com Rabu (15/8/2018).
Aturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan tersebut, dianggap tidak adil karena aturan itu dikeluarkan setelah masyarakat banyak yang berhasil menangkarkan burung kicau dan sekarang dilindungi.
Adapun beberapa di antaranya adalah burung kicau meliputi Kucica Hutan (Murai Batu), Kenari Melayu (Chrysocorythus estherae), Kacamata Jawa alias Pleci (Zosterops flavus), Opior Jawa (Heleia javanica), dan Gelatik Jawa (Lonchura oryzivora), Cucak Rowo dan Jalak Suren.
Padahal, menurut Herlan, burung-burung kicau itu kini sudah menjadi hobi di masyarakat. Namun dengan terbitnya aturan itu kini mereka dipaksa memutar otak untuk memelihara burung itu kembali.
"Sekarang harus ada surat izin dan mengurus surat izin itu saya yakin tidak mudah. Ini berpotensi menimbulkan polemik di kalangan masyarakat pecinta burung," katanya
Ia menilai pemerintah justru akan mengalami kesulitan dalam menerbitkan surat izin bagi penangkar burung. Pasalnya, di dalam aturan itu, setiap penangkaran burung harus mengurus surat induk perizinan.
"Rinciannya ketika burung sudah berhasil ditangkarkan, maka anak ke-1 dan anak ke-2, tidak boleh dijual. Anak burung boleh diizinkan dijual pada anak ke-3," bebernya
Kata dia, di samping mengurus surat induk perizinan, penangkar burung juga ternyata diharuskan mengurus surat perizinan untuk satu burung, satu surat.
Sementara itu, Pengurus PMBS lainnya, Johan mengkhawatirkan proses pengurusan izin burung ini justru akan melahirkan praktik kecurangan baru di tata pemerintahan.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan persoalan izin, apalagi Indonesia kental dengan praktik-praktik percaloan," tegasnya. (adr)
(wd)