SOLO, solotrust.com - Hari Tari Sedunia 2019 #GegaraMenari berlangsung penuh haru ketika 28 siswa disabilitas dari beberapa sekolah luar biasa (SLB) membawakan tarian Kami Tak Berbeda di Pendopo Ageng Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jebres, Solo, Senin (29/4/2019).
Dalam mengisi kegiatan bertajuk Solo Menari 24 jam ini, para penari penyandang disabilitas tampak begitu bersemangat dan luwes membawakan tarian yang telah mereka pelajari dari pelatih selama kurang lebih 3 bulan terakhir ini.
Iringan musik gamelan tradisional, gerakan pelatih yang menjadi instruktur dari barisan bangku penonton mampu mengkolaborasikan para penari penyandang disabilitas ini agar dapat bergerak seirama.
Pelatih tari, Junet Sri Kuncoro mengatakan, para penari difabel tersebut berjumlah 28 orang terdiri dari 5 orang tuna netra, 1 tuna daksa dan sisanya 22 tuna wicara. Mereka berasal dari tiga sekolah yang berbeda, meliputi SLBN Cangakan Karanganyar, SLB Hamong Putro Sukoharjo, SLB Yayasan Bina Asih Surakarta.
"Sebetulnya karya saya yang pertama dengan tuna rungu saya beri judul Aku bisa dan kedua dengan tuna netra dengan judul Bel Tubuh, yang ketiga ini saya gabungkan, saya beri judul Kami Tak Berbeda," terang Junet saat ditemu solotrust.com usai mendampingi anak didiknya perform.
Menurut Junet, yang menjadi tantangan ialah bagaimana dirinya mampu menyelaraskan gerakan antara tuna rungu, tuna netra dan tuna daksa dengan gerakan yang mengalir namun seirama.
"Kalau tuna rungu saya bergerak dia melihat bisa menirukan, tapi mereka saya bebaskan berkreasi tidak berpatokan dengan saya. Kalau tuna netra saya menuntun gerak badan dan tangan, oh ini harus ke atas badan harus membungkuk, yang jelas saya memberikan kepercayaan agar mereka berani melangkah, dan bergerak," bebernya
Tarian Kami Tak Berbeda ini membawa pesan bahwa para penyandang disabilitas tidak berbeda dengan manusia yang tercipta pada umumnya. Mereka membuktikan dihadapan ratusan penonton bahwa mereka mampu menari, mampu bergerak, mampu berekspresi di tengah keterbatasan yang mereka memiliki, hal ini layak dipandang sebagai sebuah kelebihan.
"Mereka tidak berbeda, mereka sama, jangan dibedakan dengan yang lainnya, dia bisa menari dan dia bisa berekspresi. Luar biasa antusiasme anak-anak, mereka tidak mau libur menari, saat mau libur mereka menanyakan kok libur ya pak, hari libur pun mereka datang, padahal ada yang rumahnya Tawangmangu, Karangpandan," ungkapnya.
Dalam kurun waktu tiga bulan, Junet yang juga merupakan staf pengajar jurusan tari di ISI Surakarta itu dengan tekun memberikan ilmu tarinya kepada tiap-tiap siswa difabel ini hingga menjadikan keharmonisan gerak tari dan puisi.
"Karena ada tiga kota, Solo, Sukoharjo dan Karanganyar, mereka latihan sendiri-sendiri dulu kemudian menggabungkannya, cara menyatukan mereka kan banyak orang, intinya harus ngemong mereka. Biar dia tertarik dengan saya, saya berikan contoh gerak yang menarik biar mereka tertarik. Sekitar satu minggu yang lalu mereka saya persatukan," terangnya. (adr)
(wd)