Solotrust.com - Salah satu bangunan bersejarah di Kota Solo, yakni bangunan bekas ruang museum dan pustaka Radyapustaka yang terletak di Kepatihan samping Kejaksaan Negeri Solo telah diratakan dengan tanah. Bangunan bernilai sejarah itu kini sudah tak mempunyai bekas utuh lagi.
Hal itu sangat disayangkan banyak pihak. Salah satunya sejarawan Heri Priyatmoko. Lewat akun media sosial Instagramnya, Heri mengunggah foto bangunan bekas Museum Radyapustaka yang telah rata dengan tanah. Ia menuliskan caption panjang mengomentari hal tersebut.
“Vandalisme bangunan bersejarah kembali terjadi di Kota Solo,” demikian bunyi kalimat pembuka yang ditulis Heri Priyatmoko di akun Instagram miliknya.
“Bagai disambar geledek di siang bolong, Solo kembali kehilangan bangunan sejarah yang diratakan dengan tanah. Penyakit vandalisme terus menancap pada lembaga pelat merah. Jejak historis yang hilang itu adalah bekas ruang museum dan pustaka paheman Radyapustaka di kompleks Kepatihan,” sambung Heri Priyatmoko dalam tulisannya.
Dia menambahkan, baru sebulan lalu, dirinya dan komunitas pecinta sejarah-budaya, Solosocieteit berkolaborasi dengan pengelola museum Radyapustaka kembali mencoba mengangkat dan mempopulerkan bangunan bersejarah itu. Namun, bangunan itu kini malah dirobohkan.
Di caption-nya, Heri Priyatmoko juga menceritakan ruangan yang menyatu dengan kompleks Kepatihan dulunya menjadi saksi sejarah ilmu pengetahuan dan budaya di Kota Solo. Ilmu pengetahuan dibabar oleh para petinggi Keraton Kasunanan kepada masyarakat Solo secara gratis. Di sinilah terdapat kesadaran tentang literasi dan tanggung jawab intelektual yang diperjuangkan.
Setiap Hari Rabu, di Bale Antisana selalu diulas tentang ilmu pengethuan, sastra, dan budaya Jawa. Sedangkan untuk museum dan perpustakaan memakai Bale Pantiwibawa di sisi Utara. Dahulu, tempat ini sangat terbuka, namun sayangnya bertempat di dalam rumah dan halaman pepatih Ndalem sehingga masyarakat luas merasa sungkan berkunjung di tempat ini.
Mendapati kenyataan demikian, Patih Sasradiningrat IV pun merasa gelisah. Alhasil, pada Rabu Kliwon 22 Sura Alip 1843 atau 1 Januari 1913 dipindahlah Museum Radyapustaka ke daerah Kompleks Taman Sriwedari. Kepindahan itu bukan untuk melemahkan fungsi kompleks bangunan, namun tempat itu tetap digunakan untuk kegiatan birokrasi kepatihan hingga redupnya kekuasaan Kasunanan pada periode revolusi.
“Buta sejarah dan nafsu serakah atas nama proyek tempaknya melenyapkan spirit melestarikan bangunan sejarah. Pembangunan yang membabi buta dengan mengabaikan heritage adalah tragedi yang tidak bisa diampuni! Inikah kado pahit penutup tahun bagi wong Solo dan para pecinta sejarah-budaya?” kritik Heri dalam caption-nya di Instagram. (dd)
(redaksi)