Serba serbi

Akankah Virus Corona (COVID-19) Berakhir di Musim Panas? Ini Prediksi Para Ahli

Kesehatan

8 Maret 2020 20:02 WIB

Mencuci tangan dengan sabun dengan air mengalir menjadi salah satu cara mencegah virus corona (COVID-19). (Dok. Kementerian Kesehatan RI).


Solotrust.com - Berdasarkan data World Health Organization (WHO) per 5 Maret 2020, total kasus infeksi virus corona jenis baru (COVID-19) yang tercatat sebanyak 95.333 kasus di 85 negara, termasuk 2 kasus di Indonesia.



Korea Selatan adalah salah satu negara dengan jumlah penderita terbesar. Berdasarkan data Korea Centers for Disease Control and Prevention (KCDC) pada Jumat (7/3) pukul 7 malam waktu Korea Selatan, sudah ada 6.593 kasus COVID-19 di negara tersebut, dimana 43 orang dinyatakan meninggal dunia.

Di antara berbagai kelompok yang membuat prediksi tentang bagaimana situasi saat ini, teori bahwa COVID-19 akan berakhir di musim panas menarik perhatian.

"Virus ini dapat tetap hidup hingga lima hingga 20 hari di permukaan benda dengan suhu empat derajat Celcius dan kelembaban 20 persen. Namun, menurut hasil penelitian, ketika menaikkan suhu hingga 20 derajat Celcius dan kelembaban hingga 40 persen, tingkat kelangsungan hidupnya berkurang menjadi sepersepuluh," demikian kata Choi Jae Wook, Professor of Preventive Medicine dari Universitas Korea, sebagaimana dilansir dari Donga Ilbo (7/3).

Fakta bahwa penularan SARS, virus corona lainnya dimulai pada musim dingin 2003 dan berakhir pada musim panas 2004 adalah basis pendukung lain untuk teori ini.

Namun, beberapa mengatakan bahwa musim semi akan menghadirkan tantangan sebelum musim panas tiba.

Menurut data yang disajikan oleh tim peneliti mikrobiologi di Queen Mary Hospital dari University of Hong Kong pada 2011, kondisi optimal untuk SARS, yang secara genetis mirip dengan COVID-19, untuk menyebar adalah suhu 22 hingga 25 derajat Celcius dan kelembaban 40 hingga 50 persen.

Eksperimen ini juga memperkuat teori musim panas karena aktivitas virus berkurang drastis pada suhu 38 derajat Celcius dan kelembaban 95 persen. Namun, temuan pada kondisi optimal untuk virus membuat ketakutan bahwa itu belum mencapai puncaknya.

Sementara itu, ada pula yang mengatakan bahwa membuat prediksi agak tidak berarti.

"Coronavirus memang memiliki musiman, tetapi kita tidak boleh berharap COVID-19 memiliki karakteristik yang sama," tegas Marc Lipsitch, profesor epidemiologi di Harvard T.H. Chan School of Public Health dan kepala Pusat Sekolah untuk Dinamika Penyakit Menular.

Contoh kejadian di Singapura mendukung pandangan seperti itu. Menurut Kementerian Kesehatan Singapura, negara itu memiliki lebih dari 100 pasien sekarang meskipun suhu mencapai hingga 31 derajat Celcius pada siang hari.

Menimbang bahwa bahkan para ahli tidak memiliki prediksi yang sama, maka cara paling bijaksana untuk menangani virus corona adalah menjaga kebersihan pribadi dan menghindari tempat yang ramai.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia via lamannya pun telah mengimbau agar masyarakat menjaga diri dan keluarga dari COVID-19 dengan Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS), salah satunya dengan sering mencuci tangan memakai sabun dengan air mengalir.

Cara-cara lain yang disampaikan Kemkes adalah makan makanan bergizi; rajin olahraga dan istirahat; gunakan masker bila batuk atau tutup mulut dengan lengan atas bagian dalam; tidak merokok; minum air putih 8 gelas/hari; makan makanan yang dimasak sempurna dan jangan makan daging dari hewan yang berpotensi menularkan; jaga kebersihan lingkungan; bila demam dan sesak nafas segera ke fasilitas kesehatan; dan jangan lupa berdoa. (Lin)

(wd)

Berita Terkait

Berita Lainnya