SOLO, solotrust.com - DPR RI resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) pada Kamis, 7 Oktober 2021. Dilansir dari keterangan resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, RUU HPP bertujuan meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, menutup celah praktik-praktik erosi perpajakan, instrumen untuk mewujudkan keadilan, memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, serta memperbaiki sistem perpajakan Indonesia.
Namun, ketidakadilan terpampang dalam undang-undang itu. Di satu sisi, pelonggaran dan penghapusan substansi menguntungkan pengusaha, tetapi di lain sisi daya beli masyarakat kecil tergerogoti sejalan naiknya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menurut pakar ekonomi, Kun Ismawati, saat ini ekstensi ekonomi Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan, bahkan menyentuh angka di bawah enam persen. Kondisi demikian tentunya bukan merupakan prestasi bagi perekonomian Indonesia. Namun, ini juga menjadi hal berat bagi pengambil kebijakan.
Pemerintah menargetkan per 2023 diharapkan defisit tidak lebih dari sembilan persen. Dengan fenomena seperti ini, akhirnya pemerintah berupaya keras mengoptimalkan pajak yang notabene merupakan sumber pendanaan utama negara. Salah satunya dengan menaikkan beberapa komponen agar pendapatan pajak semakin meningkat.
"Secara pribadi sangat disayangkan dan bagi masyarakat yang terkena wajib pajak juga menyayangkannya," kata Kun Ismawati.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta (UNSA) ini menegaskan, kurang efektifnya kenaikan PPN di masa pandemi lantaran yang dibutuhkan masyarakat dari pemerintah saat ini adalah adanya relaksasi, insentif, dan stimulus.
Sebaliknya, saat masa pemulihan ekonomi sekarang, pemerintah justru menaikkan PPN. Kenaikan ini secara otomatis bisa berpengaruh pada penjual dan produsen yang harus menaikkan harga. Kondisi itu jelas akan berakibat pada menurunnya daya saing produk atau jasa yang mereka hasilkan.
Mau tak mau, pelaku usaha harus menerapkan strategi menurunkan laba jika produk atau jasanya tetap ingin dijangkau konsumen. Selain itu bisa pula dengan memecah badan usaha hanya berlaku untuk PT dan CV, sehingga omzet yang diperoleh akan kurang dari Rp4,8 miliar. Dengan begitu tarif PPN yang dikenakan juga akan lebih rendah.
"Harapan saya kepada pemerintah, yaitu dengan tidak menaikkan PPN, tapi diganti dengan lebih memaksimalkan pajak online, sehingga potensi pajak yang digali akan semakin besar. Tentu dengan tetap mempertimbangkan asas-asas proporsional." tutur Kun Ismawati.
Dengan menaikkan PPN Masukan, yakni PPN yang dikenakan untuk barang-barang impor dapat menyelamatkan produk atau jasa dalam negeri. Selain itu juga lebih mengoptimalkan pajak penjualan atas barang mewah (PPN BM).
Kenaikan tarif PPN yang saat ini sepuluh persen secara bertahap menjadi sebelas persen mulai 1 April 2022 dan menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 disikapi beragam kalangan pelaku usaha.
Salah satunya Cafe Mom Milk yang berada di bilangan Jalan Adi Sucipto Manahan, Solo.
"Kami sebagai pengusaha menyiasatinya dengan menaikkan harga, tapi kan nantinya akan berdampak ke customer (pelanggan-red) juga," ungkap penanggung jawab Cafe Mom Milk, Yanuar Muhammad Iksan.
Selain mengeluhkan sepinya pengunjung, Yanuar juga menyayangkan keputusan pemerintah atas kenaikan tarif PPN tahun depan. Pelaku usaha dituntut untuk terus melakukan inovasi supaya dapat menarik banyak pelanggan.
"Mom Milk sendiri akan terus melakukan evaluasi, baik dari konsep maupun menu supaya tetap menjadi pilihan utama konsumen dan dapat bersaing dengan kompetitornya. Harapan saya pandemi segera reda agar Mom Milk bisa beroprasi normal lagi, pastinya kami juga tetap akan melakukan prokes (protokol kesehatan)," terang Yanuar. (anis/hastian)
(and_)