Hard News

IKN Pindah, Mantan Kepala Bappenas: Kalimantan Jadi Mesin Baru Perjalanan Panjang Indonesia

Nasional

12 Februari 2022 14:57 WIB

Ilustrasi Kalimantan (Foto: Pixabay/VanZonneveld)

JAKARTA, solotrust.com - Kekhawatiran sejumlah tokoh yang menolak pemindahan ibu kota negara (IKN) dinilai karena belum kenal lebih dekat dengan Pulau Kalimantan.

Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago menganggap, sejumlah tokoh yang mendengungkan penolakan IKN ke Kalimantan tidak berdasar. Pasalnya hanya kekhawatiran belaka.



Padahal, kata dia, tidak sulit bagi mereka mendapatkan data dan dokumen tentang IKN.  Buktinya, banyak tokoh mendapatkan data-data dan dokumen eksklusif tentang rencana besar pemindahan ibu kota ke luar Jawa.

"Jangan tanpa data karena malas memburu data, kemudian beropini dan banyak berlindung dari kata 'Saya duga, saya khawatir' soal IKN di Kalimantan. Masyarakat awam jadi terpengaruh hal-hal yang tak berdasar datanya," ungkapnya, Sabtu (12/02/2022).

Andrinof Chaniago sekaligus pendiri Tim Visi Indonesia 2033 juga mengkritik sejumlah tokoh atau ilmuan beralasan belum mendapatkan naskah akademik, sehingga menyalahkan berbagai aspek dalam perencanaan IKN. Sehingga kemudian beropini tak dilandasi data cukup dan kesimpulan keliru.

"Saya katakan manja (ilmuan) itu karena mereka ingin data-data penting harus sampai ke tangannya. Berlindung pada kata mana naskah akademiknya?, apakah sudah dipikirkan masalah ini dan itu? Kan rancu. Saya tekankan tidak sulit, tak sesulit mendapatkan data dan dokumen di masa Orde Baru," jelasnya.

Pihak yang menolak pemindahan IKN ke Kalimantan, lanjut Andrinof Chaniago karena tak kenal lebih dekat dengan pulau seluas 743.330 km² itu. Padahal menurutnya, Kalimantan sangat layak menjadi ibu kota baru dengan segudang potensi dimiliknya.

"Sudah jelas lokasinya yang sangat strategis di tengah Indonesia dan di tengah Asia Pasifik. Ekonomi Kalimantan bisa berpindah dari ekonomi yang mengeksploitasi sumberdaya alam ke ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ekonomi pariwisata," paparnya.

Andrinof Chaniago menambahkan, sektor pariwisata misalnya, jika daerah itu beralih dari ekonomi tambang ke ekonomi pariwisata, kota-kota dilalui sungai besar di Kalimantan bisa seperti Shanghai, Bangkok, Melbourne, atau kota-kota waterfront city di Eropa.

"Itu adalah ekonomi yang sehat dan sekaligus penghasil devisa. Ekonomi beralih dari merusak alam menjadi merawat alam karena pariwisata menimbulkan kesadaran akan lingkungan," bebernya.

Andrinof Chaniago menyebut, tak heran dengan rencana besar Indonesia membuat negara tetangga Malaysia sudah pasang ancang-ancang untuk menyambut dengan rencana-rencana investasi. Peluang investasi tidak hanya di sektor perdagangan, jasa dan pariwisata. Kalimantan sangat potensial untuk industri maritim, industri berbahan baku mineral hingga industri bahan dari karet.

"Energi untuk menggerakkan mesin maupun lampu penerangan juga berlimpah. Batubara, asalkan tidak terus dieksploitasi besar-besaran untuk dijual ke luar negeri seperti sekarang, maka usia depositnya bisa lebih dari seratus tahun untuk keperluan sendiri. Belum lagi sumber pembangkit hidro di Kaltara yang potensinya lebih dari 6000 MW," ungkapnya.

Sementara itu, pakar desentralisasi, Sutoro Eko mengkritik jika ada tokoh menyebut pemindahan IKN membebani negara dan generasi masa depan, proyek bancakan elite, dan tak urung akan jadi proyek mangkrak. Ketimbang untuk ongkos proyek IKN, kata mereka, lebih baik duit Rp500 triliun untuk ongkos program antikemiskinan atau memperbaiki Jakarta.

"Tidak benar. Pendapat macam itu representasi kuasa entitas Jakarta yang telah terbentuk selama 400 tahun melalui kolonialisasi, globalisasi, sentralisasi, kapitalisasi, birokratisasi, dan teknokratisasi," kata dia. 

Menurut Sutoro Eko, ketimbang Jakarta mengatur pemerintah, lebih baik pemerintah meninggalkan Jakarta. Jawa dan Jakarta adalah masa lalu. Pemindahan IKN adalah tonggak politik sekaligus buldozer perubahan untuk membuat ulang 'negara baru' berwajah Indonesia sentris. 

"Ia adalah solusi untuk menembus ketimpangan yang sudah ratusan tahun diciptakan oleh Jakarta sebagai 'negara lama'," tukasnya. (awa)

(and_)

Berita Terkait

Berita Lainnya