SRAGEN, solotrust.com - Warga Bunder RT 15, Kedung Waduk, Karangmalang, Sragen, Sukarno tak menyangka biji kapuk sisa industri rumahannya dapat disulap menjadi komoditas bernilai hingga dapat mendatangkan cuan.
Semua berawal dari media sosial pada 2016 silam atau empat tahun sejak Sukarno memulai usaha kapuknya. Ia yang biasanya membuang sisa biji kapuk, akhirnya berhasil mengolahnya menjadi barang bernilai, seperti: minyak goreng curah klenteng, bungkil; pakan ternak, hingga blotong atau ampas sebagai pupuk.
Diungkapkan Sukarno, semua itu berawal dari rasa penasaran dan coba-coba. Bahkan, dirinya tak serius memperhitungkan hasil di awal eksperimen.
“Awalnya ini termasuk limbah, terus kok kenapa bijinya nggak dipakai gitu? Terus saya lihat-lihat di medsos (media sosial) untuk melihat pembuatan minyak, terus saya lihat alatnya nggak punya, mesinnya saya beli di Jakarta. Terus saya proses ini, belum tahu jualnya di mana, terus yang beli siapa, belum tahu,” beber dia.
Rasa penasarannya berbuah manis. Berkat relasinya, Sukarno mampu menjual olahan biji kapuk menjadi bungkil atau pakan ternak ke salah satu pabrik di Klaten. Kini ia menjadi penyetor bahan pakan ternak itu.
“Nggak punya pandangan laku atau enggaknya, enggak tahu. Terus ada teman nawari ke pabrik ternak, Klaten. (Sekarang) Sudah dikontrak sama pabrik, saya cuma kirim,” terangnya.
Berbeda dengan bungkil, di awal eksperimennya, Sukarno sempat kesulitan menjual olahan minyak biji kapuk atau klenteng selama dua tahun awal. Hingga akhirnya, minyak curah olahan sisa biji kapuk tersebut ditawar pembeli asal Semarang.
“Terus minyaknya itu temponya lama juga belum ada yang ambil dan laku, saya carikan info yang beli minyak klenteng itu siapa nggak ada yang tahu,” beber Sukarno.
“Lama-lama, temen ada yang ngasih tahu. Pak, minyak biji klenteng punya? Iya, harganya berapa? Rp8000 dulu, adanya berapa Pak? Adanya 150 drum diambil semua dari Semarang,” imbuhnya.
Setelah itu, minyak curah olahan biji kapuknya menjadi buruan beberapa pengepul, terutama di tengah kelangkaan minyak goreng saat ini. Bahkan, para pengepul datang jauh-jauh dari Magelang hingga Jakarta.
“Permintaan banyak, tapi mesinnya cuma terbatas dua, bijinya setahun cuma berbuah satu kali, jadi agak susah nyari bahan bakunnya. Kalau mesinnya dua itu 200 kilo per-hari, klentengnya makan dua ton,” terang Sukarno.
“Ini ke Jakarta sama Magelang,” imbuhnya.
Sudah pernah minta bantuan ke pemerintah setempat
Berkat inovasinya dalam mengolah biji kapuk, beberapa tahun lalu Sukarno pernah mengirimkan minyak olahannnya ke dinas terkait di Sragen. Namun, hingga saat ini dirinya merasa tak pernah mendapat respons serius.
“Saya sudah mengajukan dulu awal-awal ke Dinas Perindustrian Sragen nggak ada tanggapan, sama sekali nggak ditanggapi pemerintah daerah,” bebernya.
Padahal, Sukarno berharap dapat menyuling minyak-minyak curahnya sendiri. Sementara, karena keterbatasannya, Sukarno baru dapat menjual olahan minyak klenteng jenis curah.
“Seandainya saya bisa memproses minyak goreng, bisa meringankan masyarakat sini, bisa dimurahkan, tapi saya nggak bisa memproses minyak goreng sendiri. Proses tangan kedua orang lain, saya cuma jual curah,” ungkapnya. (dks/rich/luthfiyah)
(and_)