SOLO, solotrust.com - Permata menjadi tonggak sejarah vital bagi kehidupan tiga etnis di Kelurahan Jayengan, Serengan, Solo. Kelurahan yang berada tak jauh dari pusat Kota Solo ini telah ratusan tahun menjadi suaka teduh kehidupan keberagaman Jarwana; Banjar, Jawa, dan Tionghoa.
Semua berawal dari kebutuhan perhiasan Raja Keraton Kasunanan Solo di akhir dekade 1800-an menuju awal 1900-an. Pada masa itu, roda keraton dijalankan Susuhunan (Sunan) Pakubuwana X atau kerap dijuluki Sunan Sugih mendatangkan para perajin permata terbaik di Bumi Nusantara, yang merupakan orang Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Menurut Ketua Forum Jayengan Kampung Permata (FJKP), Yusuf Ahmad Al Katiri, keraton bilamana mengadakan suatu acara membutuhkan perhiasan.
“Di Indonesia yang paling maju kan dari Kalimantan Selatan, terutama Martapura, maka diundanglah mereka ke Solo untuk di-order, diminta berbagai macam lah bahannya terbuat dari emas dan berlian," ungkapnya kepada wartawan saat ditemui, Senin (19/09/2022).
Saat itu perajin pendatang dari Banjar hanya membawa bahan permata atau berlian saja. Sementara, raja Solo kala itu meminta perhiasan berbahan dasar emas dan permata.
Warga Banjar akhirnya bekerja sama dengan saudagar-saudagar emas yang kebanyakan merupakan etnis Tionghoa dan sudah bermukim di Solo. Etnis Tionghoa itu kemudian menyuplai emas untuk memenuhi pesanan raja Solo kepada perajin Banjar.
Kerja sama makin erat lantaran kala itu dilakukan dengan sistem bagi hasil. Terlebih, perajin Banjar pada saat itu meminjam emas terlebih dahulu kepada warga Tionghoa di Kota Bengawan sebelum menyelesaikan pesanan.
Kebutuhan niaga telah mengikat persaudaraan warga Banjar dan Tionghoa yang hingga saat ini terus hidup berdampingan.
"Kebanyakan perajin dari Banjar yang datang ke Solo itu hanya membawa berlian saja. Otomatis ketika mereka diminta bahan dasarnya emas, mereka tidak punya dana. Solusinya mendatangi toko-toko emas itu, kebanyakan orang Tionghoa, sampaikan, dapat orderan kerja sama, dikasih kalau sudah jadi uangnya dibayar bagi hasil," jelas Yusuf Ahmad Al Katiri.
"Jadi sudah terjadi interaksi antara Banjar dan Tionghoa," sambungnya.
Jalinan kehidupan Banjar dan etnis Jawa dulu lebih dipengaruhi pada ikatan perkawinan. Disebutkan Yusuf Ahmad Al Katiri, mayoritas perajin permata kala itu masih berstatus bujang. Mereka menetap lama di Solo sebab sering mendapat pesanan dari raja setempat.
"Perajin yang datang ini kan masih bujangan, remaja-remaja 20-25 tahunan. Ya karena perajin itu tidak pulang setiap tiga bulan selesai ada orderan baru lagi, akhirnya menikah dengan orang Jawa," paparnya.
Menurut Yusuf Ahmad Al Katiri, sebagian warga Kelurahan Jayengan merupakan keturunan perajin dari Banjar dan Jawa. Termasuk, ia yang kini menjadi generasi kelima dari leluhurnya dari kedua etnis itu.
"Kalau seperti saya sudah generasi kelima, ibu saya Jawa, bapak saya Banjar, pedagang itu rata-rata sudah campuran," sebutnya.
Forum Jayengan Kampung Permata dan Kampung Wisata Permata
Permata sebagai tonggak sejarah keberagaman itu tetap lestari di tanah Jayengan. Para perajin generasi masa kini menginisiasi terbentuknya FJKP untuk meneruskan warisan leluhur.
Yusuf Ahmad Al Katiri menerangkan, FJKP dibentuk sejak 18 Oktober 2015 silam setelah melewati penelitian dari Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada 2014 lalu. Pembentukan FKJP itu juga didukung Pemerintah Kota (Pemkot) Solo.
"Potensi ini digarap kerja sama dengan kami, terutama dari UNS dan UMS, hampir semua dinas itu membantu program kami ini yang akhirnya, singkatnya setelah 1,5 tahun penelitian layak dijadikan destinasi wisata permata pada 2015," beber dia.
Yusuf Ahmad Al Katiri menyebut, permata menjadi daya tarik potensi Kelurahan Jayengan sama halnya dengan batik di Laweyan dan Kauman. Kelurahan tiga etnis itu kini menjadi Kampung Wisata Permata Jayengan.
"Hasil penelitian dari kedua universitas itu bahwasanya di Jayengan ini ada potensi yang bisa dikembangkan, selain Batik Laweyan, Batik Kauman, dan UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) lainnya," jelasnya.
Sementara itu, sejak dibentuk 2015 silam, FJKP telah menaungi sekira 350 perajin dan 4 ribuan masyarakat. Komunitas itu berkembang tidak hanya di Kelurahan Jayengan, tetapi juga menaungi perajin se-Soloraya.
FJKP terus berkembang serta juga kerap mewakili Solo dalam berbagai kegiatan untuk menampilkan perhiasan-perhiasan terbaik dari Kota Bengawan.
"Kami istilahnya menjadi andalan Kota Solo setiap ada momen-momen pameran kami selalu diminta mewakili Solo, kami mewakili, itu sepak terjang kami sampai saat ini," tukas Yusuf Ahmad Al Katiri. (dks)
(and_)