Solotrust.com - Terletak di pegunungan terjal di Laut Hitam Turki, Desa Kuskoy memiliki warisan budaya unik, yakni kicauan burung atau Kuşdili. Berbeda dengan bahasa tradisional mengandalkan kata-kata, Khushdili menggunakan siulan dengan nada, ritme, dan kombinasi berbeda untuk menyampaikan pesan.
Mengutip sebuah sumber, bahasa ini merupakan bukti kreativitas manusia dalam beradaptasi dengan keadaan dan membangun komunitas kuat. Diperkirakan berasal dari zaman Ottoman, 500 tahun silam, Desa Kuskoy terletak di dataran tinggi dan jarak rumah berjauhan, mengharuskan warga mengembangkan metode komunikasi jarak jauh efektif.
Medan pegunungan curam membuat penggunaan teriakan menjadi tidak efisien, sehingga menghadirkan bahasa siulan yang lebih mudah melintasi lembah dan pegunungan. Kushidili tidak hanya memainkan nada-nada acak. Bahasa ini memiliki kosa kata luas mencakup semua aspek kehidupan sehari-hari.
Peluit pendek dan bernada tinggi mungkin berarti "kemarilah", sedangkan peluit panjang dan bergelombang mungkin berarti "bahaya sedang mendekat". Kombinasi nada dan ritme berbeda memberikan makna tertentu, memungkinkan penduduk desa berbicara tentang pertanian, peternakan, cuaca, bahkan bertukar pesan cinta.
Menguasai Kuşdili membutuhkan kemampuan mengontrol aliran udara melalui mulut dan rongga suara. Kombinasi jari, lidah, gigi, bibir, dan pipi berperan penting dalam menghasilkan nada dan ritme secara benar.
Ahli Kushidili dapat menghasilkan nada-nada tinggi menembus jarak jauh, volume, dan kecepatannya bervariasi sesuai kebutuhan. Pelatihan Kuşdili biasanya dimulai pada usia dini.
Anak-anak belajar dari orangtua dan tetua desa, meniru dan memraktikkan berbagai macam siulan hingga mahir membedakan arti dan tujuan dari siulan. Mampu bersiul dengan jelas dan memahami arti bersiul orang lain merupakan keterampilan dihormati dan dihargai komunitas Kuskoy.
Kushidili telah menjadi bagian integral dari kehidupan Kuskoy selama berabad-abad. Bahasa ini digunakan untuk bertukar pesan, memberi peringatan, bahkan bernyanyi. Para petani saling bersiul di ladang, anak-anak bersiul, dan nada-nada bergema di pegunungan membisikkan pesan-pesan cinta.
Seiring berkembangnya teknologi komunikasi modern, penggunaan kushtili mulai menurun. Minat terhadap bahasa siul semakin menurun karena generasi muda lebih terbiasa dengan telepon seluler (Ponsel) dan media sosial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya warisan budaya unik.
Menyadari pentingnya melindungi Kushidili, berbagai upaya telah dilakukan. UNESCO telah menetapkan bahasa siul ini sebagai warisan budaya tak benda yang sangat membutuhkan perlindungan. Program pengajaran Kushidili dipromosikan di sekolah-sekolah pedesaan untuk memperkenalkan bahasa ini kepada generasi muda dan menjamin kelangsungannya.
Festival dan pertunjukan nyanyian burung diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekayaan budaya Kushidili. Media massa dan internet berperan dalam memromosikan bahasa tersebut dan memperkenalkan keindahan serta keunikannya kepada khalayak luas.
Kisah Khushdili mengajarkan kita tentang kemampuan manusia beradaptasi dengan keadaan dan menggunakan kreativitas untuk membangun komunitas kuat. Bahasa siul ini menunjukkan pentingnya melestarikan warisan budaya tidak hanya sebagai penghormatan terhadap leluhur, namun juga sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi bagi generasi mendatang.
Kendati ada tantangan modern, upaya untuk melindungi Kushidili terus berlanjut. Dengan terus mengajar, berlatih, dan memromosikan bahasa tersebut, kita dapat memastikan peluit ikonik Kushidili terus bergema di seluruh pegunungan, menjaga warisan kemanusiaan dan kreativitas tetap hidup. (Dominikus Jangguik)
*) Berbagai Sumber
(and_)