Pend & Budaya

Cebong dan Kampret Disebut dalam Diskusi Politik Milenial HMI di Solo

Pend & Budaya

14 Februari 2019 23:47 WIB

Lukman Hakim (tengah) dan Okta (kiri). (solotrus-adr)

SOLO, solotrust.com - Dosen Pendidikan Sosiologi Antropologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Okta Hadi Nurcahyono menyebut pemilih dari kalangan milenial harus lebih rasional dan komunikatif agar tidak termakan maraknya isu hoaks dan Suku Agama dan Ras (SARA).

Hal itu diungkapkan Okta kepada solotrust.com usai mengisi diskusi 'Pendidikan Politik Generasi Milenial: Membaca Surakarta di tahun 2019’ yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Surakarta di sebuah rumah makan di Banjarsari, Solo, Rabu (13/2/2019).



"Pemilih milenial harus mau terbuka dengan rekam jejak, data dan fakta, program, visi dan misi dari paslon (pasangan calon) yang disampaikan tim sukses atau tim kampanye benar-benar mereka gunakan untuk menentukan pilihannya dalam Pemilu 17 April mendatang," kata Okta.

Ia berpendapat, maraknya informasi palsu atau akrab dikenal hoaks di media sosial, menjadi tantangan bagi kalangan pemilih milenial agar cerdas dalam menyaring informasi dengan mengkroscek kebenarannya melalui data dan fakta tidak dengan menelan mentah-mentah informasi yang beredar apalagi turut menyebarkan kabar hoaks.

Menurutnya, perhatian khusus justru diarahkan kepada generasi tua yang baru mengenal teknologi dan memiliki kecenderungan termakan hoaks.

"Ini yang perlu kita garis bawahi dan benahi bersama supaya informasi hoaks tidak semakin tumbuh berkembang hingga mempengaruhi elektabilitas peserta pemilu dan akan berdampak pada bangsa dan negara kedepannya," ujar dia.

Tak hanya Okta, dalam diskusi itu juga hadir sebagai narasumber, Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS Lukman Hakim. Dalam pemaparanya, ia menyebut kontestasi politik tahun ini benar-benar indah dan berwarna dengan kehadiran istilah cebong dan kampret.

"Ada cebong kamprest nikmati saja, ini indah betul, karena ekspresi boleh-boleh saja," ujar Lukman.

Dikatakan Lukman, masyarakat harus berpikir secara holistik atau menyeluruh. Ada dua konsep dalam pembangunan pemimpin negara, yakni infrastruktur dan subsidi.

Ia berpendapat, era pemerintahan Joko Widodo cenderung mengarah pada pembangunan infrastruktur sehingga konsekuensi logisnya adalah timbul utang negara karena anggaran yang terbatas. Berbeda dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih cenderung ke arah subsidi.

"Utang Jokowi hampir sama dengan utang Soeharto. Infrastruktur pasti begitu, karena uang terbatas," kata dia.

Bagi kubu petahana, menurut Lukman, kritik dari kubu oposisi justru harus dijadikan energi pelecut semangat untuk semakin bekerja keras. Sementara bagi oposisi dalam hal ini kubu Prabowo - Sandi justru harus berhati-hati.

"Ini adalah masa paling indah dalam sejarah demokrasi indonesia. Jangan dilewatkan dengan golput, golput juatru membuat perhelatan akbar ini menjadi tidak menarik," ungkapnya. (adr)

(way)

Berita Terkait

Berita Lainnya