SOLO, solotrust.com - Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, dan Masyarakat Anti Fitnah lndonesia (Mafindo) menyelenggarakan lokakarya “Melawan Hasutan Kebencian” di Solo Paragon Hotel, pada Selasa (26/2/2019) pagi.
"Lokakarya ini dilakukan dalam rangka tahun pemilu 2019. Pasalnya, banyak kalangan mengkhawatirkan maraknya hasutan kebencian sebagai alat politik untu menjatuhkan lawan, seperti yang terjadi pada Pilpres 2014 dan Pilkada Jakarta 2017 lalu," kata Presidium Mafindo Niken Satyawati kepada solotrust.com di sela acara.
Dalam lokakarya ini dibahas sejumlah formula untuk melawan hasutan kebencian mulai dari cara mengidentifikasi hoaks dan ujaran kebencian, teknik memeriksa fakta, strategi membangun narasi tandingan, strategi menyebarkan konten positif, dan menggalang kerja sama antar kelompok di masyarakat.
“Tujuan kami agar menemukan jalan keluar melawan hasutan kebencian, Mafindo sejak 2016 berkonsentrasi pada kegiatan cek fakta dan dilakukan secara terus menerus bersinergi dengan berbagai organisasi dan dapat dilihat melalui cekfakta.com, tidak hanya di Solo, habis ini kita gelar lokakarya serupa di Poso. Solo bukan wilayah yang steril dari hoaks dan hasutan kebencian yang memecah belah keluarga, teman, alumni. Sangat tidak sehat dengan demokrasi kita saat ini,” tukasnya.
Sementara itu, PUSAD melihat hasutan kebencian ini berbahaya karena kerap digunakan sebagai strategi politik dengan mengeksploitasi identitas kelompok (agama, suku, atau identitas lainnya) untuk memobilisasi massa pendukung dan menekan lawan politik.
"Ditambah lagi dengan berkembangnya platform media sosial saat ini, di mana informasi palsu, hoaks, dan bahkan fitnah mudah didapat dan disebarkan tanpa diimbangi sikap kritis," kata Husni Mubarock, peneliti PUSAD.
PUSAD bersama Mafindo pun membuat sebuah buku panduan berjudul melawan hasutan kebencian dan menyelenggarakan lokakarya di beberapa kota lain di Indonesia dalam rangka mengantisipasi merebaknya hasutan kebencian pada Pemilu 2019.
Menurut Husni, hasutan kebencian berbahaya karena bisa berdampak pada merendahkan martabat manusia, menyuburkan prasangka dan diskriminasi, serta memicu konflik dan kekerasan. Daerah-daerah yang pernah memiliki riwayat kekerasan antarkelompok dan tersegregasi umumnya lebih rentan terhadap hasutan kebencian dalam pemilu.
“Penyalahgunaan politik identitas melalui hasutan dan pelintiran kebencian dikhawatirkan akan mempertajam polarisasi masyarakat, memperparah intoleransi, dan merusak kerukunan. Masyarakat bukan lagi melihat program kerja. Mutu demokrasi menurun, yang harusnya presiden dipilih karena programnya, sekarang preferenesi identitas, latar belakang agamanya menjadi alat untuk hasutan hoaks ujaran kebencian. Melalui kegiatan ini harapannya dapat semakin memperkuat kapasitas dan kerja sama masyarakat sipil dalam menangkal hasutan kebencian,” kata Husni.
Ketua Bawaslu Surakarta Budi Wahyono mengapresiasi kegiatan lokakarya ini. Menurut Budi, tanggung jawab pemilu dan demokrasi bukan hanya ada di tangan KPU dan Bawaslu, melainkan dari kesadaran masyarakat untuk menjaga suhu politik.
“Demokrasi tidak boleh dicedarai hal yang membuat bangkrut demokrasi seperti hoaks, ujaran kebencian musuh kita bersama. Terlalu naif urusan pemilu yang genting hanya diserahkan pada Bawaslu dan KPU. Bawaslu secara kelembagaan dan pribadi mengapresiasi gerakan ini. Yang diharapkan menghasilkan modul yang bisa memberikan pencerahan pada kita semua dan menghadirkan narasi demokrasi yang lebih sejuk, substansial dan mencerahkan kita semua,” ujar Budi.
Adapun lokakarya ini diikuti 20 peserta perwakilan dari kalangan pemerintah dan kelompok masyarakat yang terdiri dari Bawaslu, KPU, Polda, Kominfo, Penyuluh Agama Kemenag, Kesbangpol, Forum Kerukunan Umat Beragama, lembaga swadaya masyarakat, jurnalis, mahasiswa, dan organisasi pemuda. Bersama sejumlah narasumber dari peneliti PUSAD, Paramadina dan MAFINDO, para peserta lokakarya diajak untuk mengidentifikasi hoaks, serta bagaimana menghalau peredaran ujaran kebencian. (adr)
(way)