Hard News

MenPPPA Ajak Lembaga Kembangkan Kode Etik Pencegahan Kekerasan Seksual

Sosial dan Politik

16 November 2021 11:26 WIB

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA), Bintang Puspayoga. (Foto: KemenPPPA)

JAKARTA, solotrust.com – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA), Bintang Puspayoga mengajak lembaga pemerintah, penegak hukum, pendidikan, serta lembaga negeri maupun swasta lainnya untuk menggembangkan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Bintang menyebut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penaganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan salah satu contoh terobosan.



Sebab dengan adanya peraturan tersebut, Perguruan Tinggi memiliki pedoman untuk menyusun kebijakan serta mengambil tindakan pencegahan kekerasan seksual, sehingga dapat menciptakan kehidupan kampus positif.

“Peraturan ini juga telah memasukan bentuk kekerasan seksual yang terjadi di dunia teknologi informasi komunikasi. Kami juga berharap lembaga lainnya, baik swasta maupun negeri, untuk mulai mengembangkan kode etik di lembaga masing masing,” ujarnya dalam Seminar Nasional Pekan Progresif 2021 secara virtual, Sabtu (13/11).

Menteri Bintang menyatakan, kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak yang besar bagi perempuan dan anak, bahkan bisa mencapai kematian, masalah kesehatan mental, hingga hilangnya produtivitas yang berpengaruh terhadap ekonomi.

“Selain merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, pada level negara, beban ekonomi yang ditanggung dalam pencegahan hingga penanganan kekerasan juga sangat besar. Untuk itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah kita bersama,” tutur Menteri Bintang.

Secara hukum, menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Tiasri Wiandani, saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) masih berfokus pada pemidanaan tersangka, terdakwa, dan terpidana.

“Namun tidak memuat hak akses keadilan bagi korban. Ini yang kita coba dorong agar payung hukum tidak hanya bicara mengenai pemidanaan, tetapi bagaimana upaya-upaya untuk pencegahan, penanganan, dan pemulihan benar-benar bisa dilakukan agar semuanya bisa mendapatkan akses keadilan di dalam kasus-kasus kekerasan seksual,” tutur Triasri.

Hingga saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kemen PPPA, periode 1 Januari – 31 Mei 2021, dilaporkan terjadii 3355 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 3410.

Realitas di pengadilan juga menunjukkan, dalam tindak pidana persetubuhan atau hubungan seksual terhadap perempuan di luar pernikahan dengan repetisi, pelaku yang paling banyak dibebaskan adalah pelaku yang memiliki hubungan relasi horizontal dengan korban, yaitu tiga kasus.

Sementara itu, hanya terdapat satu kasus yang mendapatkan vonis tertinggi, yaitu 9-12 tahun (Data Masyarakat Penilai Profesi Indonesia (MaPPI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) pada 2018, Asesmen Konsistensi Putusan Pengadilan Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan).

(zend)