Solotrust.com - Pekerjaan sebagai penggali kubur terkadang dipandang sebelah mata dan menjadi bagian dari pekerjaan kasar. Namun tanpa ada penggali kubur tentunya jenazah orang yang sudah meninggal dunia tak dapat segera dimakamkan. Karenanya tak bisa dimungkiri, penggali kubur merupakan sebuah pekerjaan yang erat kaitannya dengan sisi kemanusiaan.
"Satu kuburan (baru) biasanya tiga orang yang gali," kata seorang penggali kubur, Anto, dikutip solotrust.com dari kanal YouTube Kisah Tanah Jawa, Selasa (08/03/2022).
Pria yang kesehariannya menggali kubur di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sasanalaya Yogyakarta itu mengaku telah lebih dari sepuluh tahun bekerja sebagai penggali kubur. Ia menggantikan para penggali kubur sebelumnya yang sudah berusia lanjut.
Anto mengungkapkan, awalnya mengalami rasa ketakutan tersendiri ketika menjadi seorang penggali kubur, namun seiring berjalannya waktu dirinya mulai terbiasa.
"Kalau menggali (dalamnya) setinggi orang dewasa," ucapnya mengenai kedalaman makam yang digalinya.
Terkait prosedur penggalian malam, biasanya juru kunci bertanya kepada para penggali kubur. Dalam hal ini apakah lubang untuk memakamkan jenazah bisa dipakai ataukah tidak. Namun, tidak menutup kemungkinan ditimbun menjadi satu dengan makam keluarga yang masih ada ikatan apabila pihak keluarga menghendaki.
Anto juga menceritakan pengalaman gaib salah satu rekannya sesama penggali kubur. Ia didatangi arwah dari jenazah yang sudah dimakamkan untuk mengucapkan terima kasih.
"Anaknya yang masih kecil malah yang tahu (melihat)," beber Anto.
Sementara Anto sendiri sampai sekarang mengaku belum pernah diikuti arwah orang yang dimakamkannya. Ia juga mengatakan area pemakaman sudah seperti rumah tersendiri baginya.
"Ya karena dari pagi jam delapan sampai malam jam enam baru pulang. Kalau malam ada permintaan untuk menggali, ya dilakukan, seperti saat musim corona beberapa waktu lalu itu," jelasnya.
Saat banyak orang meninggal akibat terpapar Covid-19, dirinya mengaku sehari bisa menggali sebanyak tiga liang lahat.
"Pernah juga dulu menggali kuburan, tapi peti matinya tidak bisa masuk, padahal ukurannya sudah pas. Terpaksa menggali sampingnya biar bisa masuk," cerita dia.
Lebih lanjut Anto membagikan pengalamannya saat membongkar makam untuk keperluan autopsi.
"Baru 21 hari ada makam yang dibongkar lagi untuk keperluan autopsi. Sempat yang di atas tidak mau menerima karena baru 21 hari. Terpaksa kemudian saya naik ke atas untuk menaikkan (mayatnya)," ungkapnya.
Selama lebih dari sepuluh tahun, Anto menggeluti pekerjaannya sebagai penggali kubur. Dirinya mengaku sama sekali tak merasa takut maupun terbayang-bayang dengan banyaknya jenazah yang telah dimakamkannya.
Diungkapkan pula, saat melakukan pemakaman sebelum dan ketika pandemi Covid-19 ada perbedaannya.
"Kalau yang terkena corona harus cepat-cepat dimakamkan, tidak boleh dibawa pulang. Dari rumah sakit langsung dibawa ke sini (pemakaman). Itu kan buru-buru (biar cepat dimakamkan). Jadi saat saya dari rumah sudah diteleponin terus," cerita Anto.
Saat korban meninggal terpapar Covid-19 berjatuhan, ia pun harus bersiaga selama 24 jam untuk dapat menggali kubur dengan penerangan seadanya, mengingat di area pemakaman tidak ada lampu.
"Menggalinya bisa jam satu, jam dua, atau jam tiga. Kalau siang atau sore enak, cahayanya terang. Kalau malam ya seadanya, padahal menggali kubur itu susah," ucap Anto.
"Kalau tidak segera dimakamkan, kasihan Mas" sambungnya.
Selama pandemi Covid-19, Anto mengatakan dirinya senantiasa menerapkan protokol kesehatan saat menggali kubur. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tak tertular virus corona, baik dari mayat yang meninggal karena terpapar virus corona maupun yang tidak terpapar. (dd)
(and_)