SOLO, solotrust.com – Sebanyak 40 kg digunakan untuk pembuatan 1300 porsi bubur Banjar Samin di Masjid Darussalam Jayengan, Serengan, Solo, setiap harinya selama Ramadan. Ribuan warga pun tumpah-ruah tiap sorenya usai Salat Ashar untuk mendapatkan bubur ini.
Bubur Banjar Samin tak hanya sekadar kuliner yang dibagikan dan diburu setiap bulan Puasa. Bubur yang terbuat dari beras, tetelan daging, sayur, serta minyak samin ini, merupakan wujud pertalian masyarakat Kalimantan atau Borneo khususnya Banjar di Kota Solo, sekitaran Masjid Darussalam Jayengan.
Menurut penuturan Takmir Masjid Darussalam Jayengan, Rosyidi Mudhor, kedatangan masyarakat Banjar ke tanah Jawa awalnya untuk memenuhi kebutuhan perhiasan priyayi Jawa.
“Bubur Samin Banjar ini tidak lepas para perantau dari Banjar, Martapura ke Solo. Mereka datang kesini sekitar tahun 1890-an. Saat itu perhiasan yang paling maju di Martapura ," katanya Minggu (3/4).
Diperkirakan pengerjaan berlian itu memerlukan waktu selama 3 bulan, dan membuat masyakarakat Banjar banyak yang tertahan di Jawa khususnya Solo, serta mengikat jalinan perkawinan dengan masyarakat setempat.
“Mereka mukim di sini untuk mengerjakan perhiasan itu. Dan butuh waktu sampai tiga bulan untuk mengerjakan itu. Jadi mereka engga sempat pulang,” terangnya.
Tidak hanya itu, warga keturunan itu kemudian berkongsi dagang dengan etnis-etinis lain seperti Tionghoa dan Arab.
Atas hubungan baik tersebut, mereka bersama-bersama mendirikan Masjid Darussalam Jayengan atau dulunya Langgar Jayengan Darussalam yang berdiri sejak 1910 berganti sebagai Masjid Darussalam 1965.
“Hubungan dengan Keraton Solo, saudagar batik, etnis Tionghoa, Arab bisa membangun masjid ini. Semua sampai beranak pinak di sini, ngrembaka [berkembang] sampai ke mana-mana,” jelasnya.
"Menjadi langgar Jayengan 1911 selesai. Kita ini keturunan kelima, sudah jarwo atau Banjar Jowo,” imbuhnya.
Sementara, Tradisi Bubur Banjar Samin di Solo awalnya dibuat sebagai menu berbuka puasa bersama masyarakat keturunan Borneo di Masjid Darussalam sekitar Ramadan 1965 oleh takmir H. Anang Sahroni.
Pada saat itu, bubur ini belum dibagikan ke masyarakat seperti sekarang, melainkan hanya digunakan sebagai salah satu menu berbuka puasa.
“1965 ditentukan oleh takmir masjid yang dulu, Haji Anang Sahroni itu, menentukan bahwa yang baik yang paling cocok dibagikan adalah Bubur Banjar Samin,” kata Rosyidi.
Selanjutnya, sekitar tahun 1985, Masjid Darussalam memutuskan membagikan bubur ini ke masyarakat. Sekitar 15 kg beras digunakan saat itu. Tradisi ini pun berjalan setiap tahunnya, sedangkan, jumlahnya beras yang digunakan terus bertambah setiap tahunnya.
“Setelah disetujui semua, maka tahun 1985 kita takmir untuk ukhuwah Islamiyah dan ikrar membagikan . Asal musasal-nya cuma 15 kg, Alhamdulillah setiap tahun naik, 2014-2018 bisa membagikan bubur beras sebanyak 45 kg,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Pembagian Bubur Samin, Noor Cholish mengatakan, pada tahun ini pihaknya menyiapkan sekira 35-40 kg beras setiap harinya sejak Minggu (3/4). Jumlah itu bakal menyesuaikan dengan permintaan. Pembagian itu juga merupakan kali pertama sejak 2 tahun terhenti pandemi Covid-19.
Masyarakat berkesempatan mendapat 1000 porsi yang dibagikan cuma-cuma sekitar pukul 16.00 WIB setiap harinya selama Ramadan. Sedangkan, 300 porsi dibagikan ke jamaah masjid di waktu berbuka puasa.
“Dibuat selama bulan Ramadan sejak hari ini sampai terakhir bulan Ramadan, kalau yang dulu sebelum pandemi kita 40-45 kg, kalau ini 35-40 kg, sekaligus melihat situasi dan kondisi, animo masyarakatnya,” pungkasnya. (dks)
(zend)