Serba serbi

Ungkap Soal Eliminasi TB dan Infeksi Latennya, Guru Besar UNS Luncurkan Buku Tuberkulosis

Kesehatan

21 Maret 2023 14:42 WIB

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Prof Reviono [kiri] bersama dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi paru, Bobby Singh [kanan] dalam konferensi pers peluncuran buku berjudul Sitokin dan Kemokin: Biomarker Tuberkulosis Laten, di UNS Inn, Minggu (19/03/2023)

SOLO, solotrust.com - Biomarker sitokin dan kemokin dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi laten tuberkulosis (ILTB) sehingga dapat segera diberikan pengobatan tepat. ILTB adalah keadaan saat sistem kekebalan tubuh orang terinfeksi tidak mampu mengeliminasi bakteri penyebab TB, Mycobacterium tuberculosis dari tubuh secara sempurna, namun mampu mengendalikannya sehingga tidak timbul gejala sakit.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS), Reviono serta dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi paru Bobby Singh mengungkap itu dalam buku terbaru mereka. Buku berjudul Sitokin dan Kemokin: Biomarker Tuberkulosis Laten di UNS Inn, Minggu (19/03/2023).



"Peluncuran buku Tuberkulosis ini salah satu bentuk produk dari Program S-3 Ilmu Kedokteran UNS, juga dalam rangka memperingati Hari TB Sedunia sekaligus Dies Natalis ke-47 UNS tahun ini," jelas Reviono.

Mereka memaparkan sejumlah permasalahan seputar penanganan penderita TB aktif atau TBC. Salah satu penyakit infeksi tertua di peradaban manusia ini yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, termasuk Indonesia.

Penyebab penyakit TB sudah diketahui Robert Koh, yakni Mycobacterium tuberculosis pada 24 Maret 1882 atau 141 tahun lalu. Setiap 24 Maret kemudian diperingati sebagai Hari TB Sedunia. Tercatat hampir 1,5 abad penyebab penyakit TB ini sudah diketahui dan obatnya pun juga sudah ditemukan sekira 1940-an, namun sampai saat ini TB masih menjadi masalah di dunia. 

Tema Hari TB Sedunia yang diangkat tahun ini pun menjadi relevan, yakni 'Ayo Bersama Akhiri TB, Indonesia Bisa'. Indonesia saat ini menempati peringkat kedua dunia dengan beban kasus terbanyak setelah India, yakni 312/100.000 penduduk, sedangkan angka kematian mencapai 34/100.000 penduduk. 

"Saat ini WHO telah menetapkan eliminasi TB sampai 2030 dengan menurunkan jumlah kasus 80 persen dan jumlah kematian 90 persen," kata Reviono sambil menambahkan, pada 2015 target program penanggulangan TB nasional adalah eliminasi TB 2035 dan bebas TB pada 2050.

Eliminasi TB dimaksud adalah tercapainya cakupan kasus TB sebanyak satu kasus per 1 juta penduduk. Hambatan harus dihadapi untuk target eliminasi itu adalah resistensi obat antiTB, tidak semua penderita TB mau diobati, kepatuhan minum obat,  infeksi TB laten, atau pun ILTB yang akan bermanifes terjadi TB aktif sehingga menjadi sumber penularan.

Kejadian TB diawali dengan masuknya kuman patogen TB. Oleh sistem imun pada sebagian besar host akan meresponsnya secara berkecukupan, membatasi pertumbuhan bakteri, dan mencegah terjadinya infeksi. Tidak semua orang terpajan patogen TB akan berkembang memberikan gejala alias terinfeksi penyakit TB. 

Menurut Bobby, sekira 30 persen orang terpajan kuman TB akan terinfeksi, sementara 70 persen tidak terinfeksi. Adapun dari pasien terinfeksi TB, sekira lima persennya akan berkembang menjadi TB aktif dalam setahun pertama infeksi dan 95 persen mengalami infeksi TB laten.

"Setelah satu tahun, sekitar 3-5 pesen pasien dengan TB laten akan berkembang menjadi TB aktif dan sisanya akan tetap memiliki TB laten sepanjang hidup," katanya. Beberapa studi menunjukkan bahwa sekitar lima sampai sepuluh persen orang dengan ILTB akan berkembang menjadi TB aktif dalam lima tahun pertama sejak kali pertama terinfeksi.

Orang dengan ILTB biasanya memiliki hasil pemeriksaan rontgen thorax normal serta hasil pemeriksaan dahak tes cepat molekuler (TCM) negatif.

"Tetapi, apabila dilakukan tuberculin skin test (TST) atau pemeriksaan interferon gamma-release assay (IGRA), hasilnya akan positif," terangnya.

Diagnosis dan pengobatan ILTB merupakan salah satu strategi WHO untuk mengontrol dan mengeliminasi TB. Hasil pemodelan dilakukan Dye et al pada 2013 menunjukkan target End TB Strategy 2035 hanya dapat tercapai dengan mengkombinasikan upaya pengobatan TB aktif secara efektif dan upaya pencegahan TB dengan pemberian terapi pencegahan TB (TPT) pada kasus ILTB.

Sebuah ulasan dilakukan terhadap panduan pengobatan juga menemukan pengobatan ILTB dapat mengurangi risiko reaktivasi sekitar 60 hingga 90 persen.

Salah satu permasalahan untuk dapat mendeteksi infeksi TB laten adalah tentang alat diagnostik akurat, namun terjangkau masyarakat. Saat ini TST dan IGRA belum memenuhi persyaratan seperti itu.

"TST memang cenderung lebih murah, tetapi akurasinya rendah, terutama pada kelompok imunokompromi atau orang dengan sistem imun yang terganggu, sedangkan IGRA akurasinya lebih baik, tetapi harganya mahal," bebernya. 

Harga mahal ini mengakibatkan masyarakat enggan untuk memeriksakan diri. Akibatnya banyak orang memiliki infeksi TB Laten tidak terobati.

Upaya untuk mendapatkan alat diagnostik akurat telah dilakukan dengan penelitian guna mendapatkan biomarker infeksi TB laten lebih baik daripada IGRA.

"Melalui sitokin dan kemokin ini, semoga yang selama ini buat tes mahal, diharapkan bisa lebih murah dan efektif," tutupnya. (riz)

(and_)

Berita Terkait

Berita Lainnya