PEKALONGAN, solotrust.com- Mendengar kata investasi, maka kerap mengkaitkanya dengan finansial di masa depan. Berinvestasi dapat juga dilakukan dengan menyokong berbagai organisasi dari berbagai bidang untuk menggerakkan perubahan sosial.
Meski seni budaya sudah menjadi bagian yang erat dengan kehidupan sehari-hari, namun fungsinya tak lebih dari hiburan atau hiasan. Dalam forum-forum tentang pembangunan, seni sebatas tampil sebagai pertunjukan pembuka atau pengiring saat rehat makan siang.
"Banyak yang lupa bahwa seni budaya yang dikembangkan dengan baik bisa berdampak besar pada kehidupan masyarakat di sekitarnya. Saat ini infrastruktur kebudayaan kita masih jauh dari memadai, apalagi untuk menghasilkan nilai sosial dan budaya yang bisa berkontribusi pada perekonomian," ungkap Wakil Ketua DPRD Jateng H Sukirman, saat menjadi narasumber utama dalam sosialisasi Media Tradisional di Kabupaten Pekalongan, belum lama ini.
Dijelaskan, seni budaya kerap diabaikan dalam rencana pembangunan, karena dinilai tak berperan untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan kualitas hidup manusia. Padahal, seni terbukti berdampak positif untuk masyarakat. Seni dinilai memiliki kekuatan mengubah perilaku anak menjadi lebih baik. Kesenian adalah aspek humanis yang melekat kuat di anak-anak, dan bisa menyentuh kemanusiaan.
Pemerintah daerah seharusnya membangun sinergi dengan pemerintah pusat perihal visi, gagasan, dan bentuk-bentuk investasi kebudayaan. Pembangunan kebudayaan adalah salah satu poin penting dari tujuh fokus Rencana Pembangunan Jangka Panjang pemerintah Indonesia 2025-2045.
"Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, Dana Abadi Kebudayaan yang diturunkan melalui aneka program Dana Indonesia dan disokong oleh LPDP menjadi bukti komitmen pemerintah pusat," ungkap politikus yang menjabat sebagai Sekretaris DPW PKB tersebut.
Dalam kaitannya dengan partisipasi pemerintah daerah, ada beberapa hal penting yang perlu dikritisi dari aktivitas pembangunan kebudayaan di tingkat lokal. Di antaranya ketidakmampuan pemerintah daerah mengidentifikasi perkembangan budaya kontemporer, orientasi yang lebih terpaku pada profit daripada benefit, dan lemahnya investasi.
Menurutnya, generasi milenial merasakan bentangan yang luar biasa besar antara tradisi dan modernitas. Kebutuhan akan literasi digital sama besarnya dengan kebutuhan kami akan literasi tradisi.
Akses akan tradisi selalu dikaburkan oleh sejarah kolonialisme serta politik identitas yang tidak kunjung selesai. Satu-satunya yang jadi pijakan dalam membangun visi adalah kenyataan-kenyataan hari ini, yang dijumpai, hadapi, dan hidupi.
"Pada tataran yang lebih praktis, kebudayaan seringkali ditempatkan pada distingsi antara tradisi dan modernitas. Identifikasi atas kebudayaan kerap terperangkap pada hal-hal yang bercorak tradisional: kain tenun, tarian tradisional, kuliner tradisional, rumah adat, syair dan lagu-lagu tradisional," ujarnya.
Ditambahkan, kebudayaan lokal sering dipandang secara eksotis semata tanpa upaya revitalisasi berbasis masyarakat, peluang-peluang yang dibuka oleh bentuk-bentuk kebudayaan populer/kontemporer sama sekali tidak ditindaklanjuti.
Menurut Sukirman, kebudayaan adalah pelayan pariwisata. Sementara, investasi kebudayaan tidak melulu harus punya efek langsung pada pendapatan ekonomi tetapi juga pada dampak sosial dan dampak kultural.
"Investasi budaya juga berkontribusi pada peningkatan identitas budaya suatu daerah melalui praktik dan produk budaya yang dihasilkan. Praktik dan produk budaya itu bisa menjadi alat negosiasi dan investasi jangka panjang bagi pemerintah dan terutama warga yang mengembangkan dan menghidupinya," ungkap Sukirman.
(Wd)