SOLO, solorust.com- Lahirnya Kelompok Peron Surakarta tidak lepas dari andil Teater Garasi. Teater Garasi adalah sebuah teater bahasa Indonesia yang didirikan oleh Koesprihyanto Namma, Teguh Winarno, Bambang Karno, Bambang Taruno dan Urip Widyatmoko. Peron sendiri merupakan repertoar pertama yang dipentaskan oleh kelompok ini pada 7 Maret 1987, sebuah tanggal yang pada akhirnya menjadi momentum berdirinya teater kampus di lingkungan Universitas Sebelas Maret.
Adapun karya monumental yang berjudul Peron, Karya/Sutradara Koesprihyanto Namma tersebut diabadikan menjadi nama kelompok ini. Sebagai kelompok kesenian, Teater Peron terus melakukan proses kreatif dalam kesenian, baik teater, musik, sastra, tari, lukis dan kesenian lainnya.
Kelompok Peron Surakarta mempersembahkan Pentas Produksi ke 73 dengan mengusung naskah berjudul “CENGKIR GADING” karya/sutradara Faisal M. Imandihardjo. Pementasan akan dilaksanakan di dua kota, yaitu Salatiga dan Solo. Naskah ini untuk pertama kalinya akan dipentaskan di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Salatiga pada 19 Agustus 2018 pukul 19.30 WIB mendatang. Kemudian pementasan kedua di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Surakarta pada tanggal 24 Agustus 2018 pukul 19.30 WIB.
Selain itu, tujuan dilaksanakannya pentas produksi ini adalah sebagai wadah pengaryaan anggota Kelompok Peron Surakarta dan juga mengasah kreatifitas, potensi, minat, bakat anggota dalam berkesenian.
“Berpindah dari sudut ke sudut, berjalan dari detik ke waktu, melampaui denting usia. Terik, hujan, dan kesiur debu hanyalah sebagian kecil teman di kerasnya kehidupan jalanan kota. Terantuk dan terusir dari kolong-kolong emperan toko hingga takdir memberhentikan langkah tua di tempat dimana semua peristiwa tercipta.”
“Dalam ramah tamah yang sederhana, kita saling menyembunyikan luka. Entah perihal rindu ataupun gejolak ego masa lalu yang masih meninggalkan sisa. Sendau gurau, amarah dan cacian hanyalah sebagian kamuflase dari perasaan kosong yang menggerogoti jiwa. Hingga hanya konfrontasi yang tersisa sebagai pilihannya. Entah sampai kapan ego berkuasa. Entah bagaimana hati akan terbuka. Semua, akan tahu jawabannya ketika rasa yang berbicara.”
(wd)