JAKARTA, solotrust.com - Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) medis hingga 27 Juli 2021 berjumlah 18.460 ton. Angka ini diperoleh dari data masuk ke pemerintah pusat, dicatat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
"Arahan Bapak Presiden bahwa terhadap penanganan limbah medis ini kita harus intensifkan dan sistematis," ungkap Menteri LHK RI, Siti Nurbaya Bakar dalam Keterangan Pers Menteri LHK serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara virtual, Rabu (28/07/2021).
Menteri LHK menuturkan, limbah medis ini berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, rumah sakit darurat, wisma tempat isolasi, karantina mandiri, uji deteksi maupun vaksinasi.
Ia juga menambahkan data yang diperoleh belum lengkap dan sedang dilakukan pembaruan.
"Jadi kalau perkiraannya asosiasi rumah sakit itu limbah medisnya besar sekali, bisa mencapai 383 ton per hari," jelasnya.
Adapun untuk kapasitas pengolahan limbah medis, kata Siti Nurbaya, sebenarnya masih cukup karena sehari dapat menampung 493 ton. Namun, fasilitas itu masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Selain itu, Menteri LHK juga mengungkapkan jika beberapa fasilitas pelayanan kesehatan sudah memiliki alat pengolahan limbah, namun belum berizin.
"Untuk itu sejak tahun lalu, Kementerian LHK memberikan relaksasi. Jadi selain izin dipercepat, juga relaksasinya bahwa incenerator yang belum punya izin itu diperbolehkan beroperasi dengan syarat suhunya 800 derajat Celsius dan terus diawasi oleh Kementerian LHK," terang Siti Nurbaya Bakar.
Di lain pihak, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menjelaskan, baru 4,1 persen rumah sakit memiliki fasilitas incenerator berizin dan di Indonesia baru 20 pelaku usaha pengolahan limbah. Namun hampir semuanya terpusat di Pulau Jawa dan distribusinya belum merata.
"Ada beberapa teknologi sudah proven yang dikembangkan oleh teman-teman kita untuk membantu peningkatan kapasitas limbah ini secara signifikan," kata Kepala BRIN.
Ia menambahkan, teknologi tersebut merupakan alat yang bisa dipakai untuk pengolahan limbah di skala lebih kecil dan sifatnya mobile. Dengan begitu bisa menjangkau daerah-daerah yang penduduknya relatif sedikit dan skala limbahnya juga tidak banyak.
"Kalau kita harus membangun incenerator besar, itu akan lebih mahal dan juga menimbulkan masalah terkait dengan pengumpulan. Karena pengumpulan dari limbah ke incenerator yang terpusat itu juga menimbulkan biaya yang tersendiri," tuturnya.
Laksana Tri Handoko menjelaskan, ada pula teknologi daur ulang limbah medis yang berpotensi untuk memunculkan nilai tambah, ekonomi baru, dan meningkatkan kepatuhan.
"Katakanlah faskes-faskes yang menghasilkan limbah, karena ada insentif finansial dari sisi bisnis akibat dari daur ulang tersebut, itu akan berpotensi juga mengurangi biaya pengolahan limbah secara keseluruhan," terangnya.
Pihaknya berharap adanya alat daur ulang limbah dapat memotivasi berbagai fasilitas kesehatan untuk mengumpulkan dan mengolah limbah serta meningkatkan kepatuhan. Selain itu juga berpotensi menjadi lahan bisnis baru bagi para pelaku usaha daerah, khususnya pelaku usaha skala kecil. (Azizah)
(and_)