SOLO, solotrust.com – Nyadran atau sadranan adalah tradisi yang biasanya dilakukan masyarakat Jawa di setiap Ruwah (penanggalan Jawa-red) atau menjelang puasa. Tradisi ini ditandai dengan pembersihan makam leluhur, tabur bunga ke makam, bahkan diadakannya acara kenduri.
Menurut budayawan St Wiyono, nyadran ternyata berbeda dengan ziarah. Nyadran diyakini sebagai tanda hormat kepada leluhur sekaligus mengirim doa agar leluhur dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Sementara ziarah diyakini memiliki sifat ngalap berkah.
“Nyadran sebagai tanda hormat kita kepada leluhur sekaligus kita kirim doa, membantu doa agar leluhur kami, bapak ibu kami, kakek kami, bisa diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Jadi agak berbeda dengan ziarah, kalau ziarah itu saya itu rasane kayak punya ngalap berkah,”terang Wiyono, saat ditemui solotrust.com, Sabtu (19/03/2022).
Selain itu, Wiyono juga mengungkapkan perbedaan nyadran dan ziarah terlihat dari waktu dilaksanakannya. Nyadran biasa dilakukan sebelum puasa Ramadan atau di waktu Lebaran, sementara ziarah bisa dilakukan setiap saat.
“Kalau yang namanya nyadran itu, hanya itu, di Bulan Ramadan sama pas Lebaran. Kalau ziarah kubur bisa setiap saat,” lanjutnya.
Nyadranmemiliki nilai kesinambungan antara leluhur dengan umat manusia yang sekarang, artinya sebagai pengingat atau penanda umat manusia pernah dilahirkan. Nyadran ternyata tidak hanya diperingati umat Muslim, melainkan hampir semua agama terdapat tradisi nyadran.
“Hampir semua agama nyadran dan ziarah itu ada,”ungkap Wiyono.
Tradisi nyadran juga memberikan efek baik di mana terdapat rasa kelegaan karena sudah mengirim doa pada leluhur. Hal ini sebagai bentuk cinta kepada keluarga besar yang sudah meninggal.
“Kalau bagi saya sendiri, saya ada semacam kelegaan bahwa saya sudah nyadran, bahwa saya sudah kirim doa pada orang-orang yang kami cintai, bahwa ini menunjukan saya masih punya keluarga besar yang sudah meninggal dunia. Jadi ada semacam kelegaan,” tutur Wiyono. (Wieda/Dela)
(and_)