SOLO, solotrust.com - Jarwana-jarwana, Banjar, Jawa, Cina. Nyanyian itu menggema mengiringi langkah 1.100 peserta Kirab Budaya Jarwana di Kelurahan Jayengan, Serengan, Solo, Sabtu (17/09/2022) pagi.
Mereka mengitari rute Jalan Gatot Subroto, Jalan Moh Yamin, Jalan Yos Sudarso, Jalan Dr Radjiman, Jalan Honggowongso, dan kembali ke Jalan Gatot Subroto sejak pukul 09.50 WIB.
Kirab ini bukan sekadar menjadi pesta hiburan masyarakat setempat, tetapi juga menjadi produk kebhinekaan memanifestasikan kerukunan tiga entitas etnis di Kelurahan Jayengan, yakni warga beretnis Jawa, Banjar, dan Tionghoa yang selama ini sudah terjalin.
Pertunjukan budaya ketiga etnis itu juga menjadi salah satu suguhan utama dari 36 kelompok peserta kirab. Kehangatan terasa acap kali kelompok-kelompok yang mewakili etnis masing-masing menyuguhkan kebudayaannya.
Ketua Panitia Kirab Jarwana, Krisno Jatmiko, menyebut keberagaman etnis menjadi keunikan bagi Kelurahan Jayengan. Pihaknya berkomitmen untuk terus menggelorakan keunikan itu lewat kirab budaya.
Kirab Jarwana tahun ini menjadi kali keempat digelar. Sebelumnya, kirab ini kali pertama diadakan 2017 silam dan sempat absen dua tahun pada 2020-2021 lantaran pandemi Covid-19.
"Jayengan mempunyai keunikan, apabila diolah dan dikelola sebaik-baiknya, yakin Jayengan akan menjadi destinasi wisata yang sangat menarik," kata Krisno Jatmiko kepada wartawan, Sabtu (17/09/2022) usai kirab.
Tak berhenti di kirab, manifestasi kesatuan tiga etnis itu ditampilkan pula dalam Pesta Jajanan Tiga Etnis usai kirab. Terdapat masing-masing 1.500 makanan khas dari Banjar sepuluh jenis, Jawa sembilan jenis, dan Tionghoa empat jenis, serta tambahan pembagian seribu porsi makanan khas Banjar, bubur samin yang hanya ditemukan saat Ramadan.
Uniknya, makanan itu dapat dinikmati cuma-cuma oleh masyarakat. Panitia membagikan sejumlah voucher yang dapat ditukarkan beragam makanan.
Setelah Pesta Jajanan Tiga Etnis, acara dilanjutkan pertunjukan budaya Jarwana di panggung acara malam harinya, dengan turut menampilkan musisi lokal Pecas Ndahe.
Krisno Jatmiko mengatakan, rangkaian acara ini diadakan sebagai komitmen warga Jayengan dalam mewujudkan lingkungan kondusif di Kota Solo. Perbedaan bukan menjadi alasan untuk terus mengembangkan iklim gotong royong di kampung.
"Ini simbol kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sekaligus merupakan komitmen masyarakat di Kelurahan Jayengan untuk ikut serta berpartisipasi menjalankan misi ketujuh RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kota Solo. Mewujudkan daerah yang kondusif dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat yang saling berdampingan," ungkapnya.
Sejarah panjang kerukunan dalam keberagaman Kelurahan Jayengan
Tonggak keberagaman Kelurahan Jayengan sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 menuju awal abad 20 silam. Keberagaman itu dimulai dari kebutuhan perhiasan Keraton Kasunanan Solo yang kemudian mendatangkan perajin permata dari Banjar, Kalimantan.
Sejak saat itu, masyarakat Banjar mulai bermukim di Solo, terutama di Jayengan untuk kebutuhan niaga. Selain Banjar, aktivitas perdagangan juga didukung saudagar-saudagar Tionghoa yang menyuplai kebutuhan emas.
"Mereka hidup berdampingan sejak abad ke-18. Warga Banjar sendiri datang sekitar abad tersebut, datang sebagai perajin perhiasan itu orang-orang dari Banjarmasin diundang dari keraton, kemudian dikoskan di wilayah Jayengan, tarik-menarik dibawa keluarga dan tetangga di Kota Solo, menjadi kelompok Banjar di Jayengan," jelas Krisno Jatmiko.
"Kalau yang Tionghoa itu karena saudagar bisnis, sekarang berkembang hingga ke mana-mana, salah satunya Kelurahan Jayengan," tambahnya.
Kedua etnis itu lantas melebur bersama suku Jawa sebagai entitas lokal Jayengan. Ketiganya hidup berdampingan hingga saat ini dan memunculkan istilah Jarwana: Banjar, Jawa, dan Cina.
"Jadi jumlah penduduk antara Banjar, Jawa, Tionghoa di Kelurahan Jayengan hampir seimbang, maka ada istilah Jarwana," ungkap dia.
Sementara itu, menurut penuturan salah satu sesepuh keturuan Banjar di Jayengan, Muhammad Rosidi Muhdor, penyatuan etnis pendatang Banjar juga dipengaruhi pernikahan lintas etnis pendatang dengan penduduk lokal.
"Sampai nikah sama orang sini, mereka sampai membeli tanah di Jayengan ini," ucapnya.
Etnis Banjar tak hanya menetap di Jayengan, mereka kemudian juga menyebar ke beberapa daerah Jawa. Menurut Muhammad Rosidi Muhdor, Jayengan menjadi pusat masyarakat pendatang asal Banjar.
"Asal muasalnya perantau itu ke Solo. Solo menjadi ibu kota Banjar di Pulau Jawa, kalau ada haul itu kumpulnya di sini," sebutnya.
Ketiga etnis itu hingga kini hidup berdampingan di Jayengan. Mereka tak hanya sekadar menetap, namun juga tetap melestarikan kebudayaan.
Salah satunya etnis keturunan Banjar yang kini memiliki tradisi pembagian bubur samin khas Bumi Borneo. Tradisi itu berlangsung puluhan tahun dan kerap menyedot animo masyarakat Solo dan sekitarnya.
Sementara, permata sebagai awal mula kedatangan para perantau juga masih diteruskan generasi kini. Bahkan, Jayengan telah ditetapkan sebagai kawasan wisata Jayengan Kampung Permata (JKP) oleh pemerintah setempat sejak 2015 silam.
"Orang Kalimantan sana pembuat perhiasan, raja sini mau membuat perhiasan dibuatkan permata dan perhiasan. Ya karena cocok, perantau dari Kalimantan menetap di Jawa, 1890-an. Pengusaha sekarang masih banyak, sekarang ada JKP, yang melanjutkan ya itu," tukas Muhammad Rosidi Muhdor. (dks)
(and_)