SOLO, solotrust.com - Rebab adalah satu-satunya alat musik berdawai yang cara memainkannya dengan digesek, biasanya diperuntukkan sebagai pemanis dan pelembut irama gamelan.
Di Buleleng, Bali eksistensi rebab semakin sepi peminat bagi kaum muda yang mau mempelajarinya. Salah satu alasannya karena tempo gamelan Buleleng ini terkenal keras dan dinamis sehingga menjadi salah satu alat musik kurang diminati.
Menyikapi hal itu, sebagai penanggung jawab kegiatan Workshop Rebab se-Kabupaten Buleleng, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Pande Made Sukerta melakukan pengabdian kepada masyarakat. Bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan (Disbud) Kabupaten Buleleng, ia menggelar Workshop Pembelajaran Rebab Bali kepada 25 sekaha gong se-Kabupaten Buleleng di Wantilan Sasana Budaya Singaraja, Kamis (09/11/2023).
Rektor ISI Surakarta, I Nyoman Sukerna dalam sambutannya memberikan apresiasi kepada Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng yang memiliki semangat dan sangat konsisten dalam pelestarian serta pengembangan seni tradisional. Dalam hal ini gamelan, merasa perlu menginisiasi untuk menindaklanjuti sebagai rencana aksi setelah UNESCO menetapkan alat musik tradisional itu sebagai warisan tak benda dunia.
Kegiatan Workshop Pembelajaran Rebab dilaksanakan dengan semangat atas kebanggaan terhadap gamelan. Harapannya, kegiatan ini menjadi pengingat tentang lahirnya energi kesadaran lebih besar untuk semakin peduli terhadap pelestarian dan pengembangan gamelan.
Secara lebih luas, kegiatan ini sebagai bentuk ekspresi kebersamaan masyarakat gamelan di Indonesia dalam komitmen menjaga, menggali, mengembangkan, dan memanfaatkan secara positif seni budaya dari Indonesia untuk masyarakat dunia.
Sekadar informasi, Pande Made Sukerta adalah putra daerah Kabupaten Buleleng, asli kelahiran Desa Tejakula. Ia salah satu guru besar ISI Surakarta yang memiliki kompetensi pengetahuan dan praktik dalam bidang gamelan. Salah satu keahliannya memainkan instrumen rebab.
Pande Made Sukerta menyebutkan, alat musik rebab kali pertama dikenalkan pada 1920-an. Kala itu digunakan untuk penghargaan arja serta semar pegulingan, namun sekarang menurutnya alat musik ini semakin ditinggalkan dan sepi peminat.
Workshop inidi gelar untuk mengembangkan kembali rebab di Bali, khususnya Buleleng dengan menekankan teknik cara memainkannya.
Sebagai orang asli Buleleng, Pande Made Sukerta memandang perlu membumikan lagi alat musik rebab karena peminatnya kian merosot. Padahal instrumen rebab pada gamelan Bali memiliki unsur kuat untuk mempermanis alunan lagu.
Rebab akan terus gencar dikembangkan kembali untuk melahirkan seniman-seniman di Bali. Menurut Pande Made Sukerta, bermain rebab tidak ada yang sulit untuk dipelajari asal tekun dan memainkannya dengan hati.
Workshop Pembelajaran Rebab Bali dibuka Kadis Kebudayaan Buleleng, I Nyoman Wisandika. Ia menyampaikan ucapan terima kasih kepada ISI Surakarta telah menginisiasi pembelajaran.
I Nyoman Wisandika berharap selama tiga hari acara, para peserta dapat memanfaatkan dengan baik pembelajaran ini sehingga bisa melahirkan pemain rebab Bali di Kabupaten Buleleng. Diungkapkan, di Buleleng sendiri, rebab Bali memang jarang peminat jika dibandingkan Bali Selatan. Hal ini tentu menjadi momen baik untuk pengembangan kembali alat musik tradisional itu di Buleleng.
“Sebanyak 25 peserta dari sanggar, komunitas dan sekahaa ini diharapkan belajar selama tiga hari workshop, memainkan rebab diajarkan tekniknya secara langsung. Saya harapkan juga tidak hanya terhenti sampai di sini. Ini bisa ditularkan ke teman-teman lain sehingga banyak pemain rebab Bali di Buleleng,” pungkasnya.
(and_)