SURABAYA, solotrust.com -
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Badan Geologi (PVMBG) meminta masyarakat mewaspadai potensi tanah longsor, mengingat beberapa daerah di Indonesia saat ini telah memasuki musim penghujan.
Cuaca Indonesia sendiri saat ini cukup bervariasi, bergantung daerahnya. Kendati demikian, umumnya musim penghujan sudah terjadi di sebagian besar wilayah.
Curah hujan yang terjadi juga berbeda-beda, mulai dari intensitas ringan hingga tinggi yang dapat menyebabkan banjir atau pun longsor, terutama di dataran tinggi. Sementara di daerah pesisir, kondisi cuaca cenderung lebih panas dan curah hujan rendah.
Karenanya, masyarakat diharapkan perlu bersiap menghadapi perubahan cuaca ekstrem seperti badai dan curah hujan tinggi. Pasalnya, curah hujan tinggi dapat memicu terjadinya banjir hingga tanah longsor, terutama di sekitaran lereng bukit.
Terkait kondisi ini, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Badan Geologi (PVMBG) bekerja sama dengan Institut Sepuluh November Surabaya melakukan sosialisasi Mitigasi Bencana Gerakan Tanah (Tanah Longsor), Rabu (23/10/2024). Kegiatan ini sebagai upaya mempersiapkan masyarakat Indonesia menghadapi musim penghujan.
Penyelidik Bumi Madya PVMBG Badan Geologi, Novie N Afatia, menjelaskan banyak sekali faktor penyebab terjadinya tanah longsor, seperti geomorfologi/kelerengan, struktur geologi, pelapukan tanah/batuan, tata guna lahan, getaran/gempa bumi, curah hujan tinggi, aktivitas manusia, hingga infiltrasi air ke lereng.
Ia pun meminta masyarakat mewaspadai apabila terjadi tanda-tanda tanah longsor, seperti longsornya batu/tanah kecil pada lereng, munculnya retakan/rekahan pada tanah, longsor/miringnya benda-benda, perubahan warna air secara mendadak.
Selain itu, perlu diwaspadai pula keluarnya mata air baru, permukaan dinding beton penahan menjadi menggembung, air tiba-tiba melimpah di sepanjang selokan pinggir bukit, hingga banyaknya rembesan air keluar dari sepanjang dinding bukit.
“Setelah BMKG mendapatkan peta potensi curah hujan, kondisi geologi dan batas administrasi wilayah, kemudian akan dibuat sebuah peta mitigasi untuk memprakirakan potensi terjadinya gerakan tanah di seluruh wilayah Indonesia. Informasinya dapat diunduh pada laman geologi di
www.bg.esdm.go.id atau
www.vsi.esdm.go.id dan beritanya akan diperbarui setiap bulannya,” jelas Novie N Afatia.
Mitigasi bencana tanah longsor yang dapat diupayakan menurut Badan Geologi, yakni tidak mendirikan pemukiman di daerah rawan longsor, seperti lereng dan alur air seperti sungai, tidak mendirikan bangunan pada jarak terlalu dekat tebing.
Selain itu juga tidak mengembangkan lahan basah atau kolam penampungan air di sekitar pemukiman, membuat dinding penahan tebing, meletarikan vegetasi berakar kuat dan dalam di daerah berlereng terjal, serta melandaikan lereng atau membuat terasering.
Apabila terjadi longsor atau tanda-tanda hendak terjadi tanah longsor, ada beberapa hal perlu dilakukan masyarakat, di antaranya segera menjauh dari lokasi menuju tempat aman, melakukan evakuasi penduduk, menutup retakan dengan plastik dan tanah kemudian dipadatkan agar air tidak masuk melalui retakan.
Di lain sisi, perlunya memperbaiki saluran drainase agar air tidak masuk ke lokasi longsor, mewaspadai potensi tanah longsor susulan, menutup lokasi bencana dari kerumunan massa, menghubungi instansi terkait, serta lebih waspada pada saat dan setelah turun hujan.
Novie N Afatia menegaskan, menutup lokasi bencana sangat penting dilakukan lantaran masyarakat Indonesia banyak yang cenderung memanfaatkan momen ini sebagai ajang mengambil foto dan video dari jarak dekat untuk dipamerkan ke media sosial dan malah menghambat proses kerja tim SAR dan relawan.
Padahal juga dikhawatirkan akan adanya tanah longsor susulan yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, diharapkan masyarakat dapat lebih peduli lagi dengan keselamatan diri sendiri dan juga orang lain. (Dilla Wanda Zuliyana)
(and_)