SEMARANG, solotrust.com – Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan peringatan dini terkait kondisi cuaca ekstrem berpotensi memicu bencana hidrometeorologi di Provinsi Jawa Tengah (Jateng).
Dalam Rapat Koordinasi Antisipasi Bencana Hidrometeorologi digelar bersama Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, Dwikorita Karnawati menegaskan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah menghadapi puncak musim hujan diperkirakan berlangsung hingga Februari 2025.
“Sebagian besar wilayah Jawa Tengah akan mengalami puncak musim hujan hingga Februari. Puncak musim hujan ini tidak serempak, terjadi bertahap mulai November, Desember, Januari, hingga Februari. Hal ini membuat potensi bencana, seperti yang terjadi di Pekalongan masih bisa terjadi. Oleh karena itu, langkah antisipasi terus kami tingkatkan,” papar Dwikorita Karnawati di Semarang, baru-baru ini, dilansir dari laman resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, bmkg.go.id, Kamis (30/01/2025).
Pihaknya menjelaskan, intensitas curah hujan di Jawa Tengah dipengaruhi kombinasi aktif beberapa fenomena atmosfer global, seperti La Nina lemah, Monsun Asia, Madden-Julian Oscillation (MJO), serta gelombang ekuatorial Kelvin dan Rossby.
Kondisi ini diperkuat fenomena astronomis, seperti fase bulan baru yang menciptakan potensi peningkatan curah hujan, angin kencang, hingga gelombang tinggi di wilayah pesisir. Selain itu, kelembapan udara sangat basah serta aktivitas konvektif lokal turut memicu pembentukan awan hujan yang menjulang tinggi. Semua faktor ini menjadi pemicu utama peningkatan risiko bencana, seperti banjir, tanah longsor, banjir rob, dan angin kencang di sejumlah wilayah Jawa Tengah.
Menurut data BMKG, seluruh wilayah Jawa Tengah telah memasuki musim hujan sejak Desember 2024 dengan puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Januari hingga Februari 2025. Dwikorita Karnawati menekankan, curah hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat akan terjadi di berbagai wilayah, terutama di kawasan rawan bencana, seperti Pekalongan, Batang, dan Boyolali.
Di wilayah ini, ancaman tanah longsor dan banjir bandang menjadi perhatian utama. Kabupaten Boyolali, misalnya, berada dalam kondisi kritis karena keberadaan jalur sungai di lereng Gunung Merbabu sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Sebelumnya, Dwikorita Karnawati bersama tim BMKG telah mengunjungi wilayah ini untuk meninjau langsung kondisi di lapangan dan memberikan arahan mengenai langkah mitigasi bencana.
Selain ancaman hujan ekstrem, BMKG juga mengidentifikasi potensi banjir rob yang dapat melanda kawasan pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah. Dalam rapat koordinasi, Dwikorita Karnawati menekankan upaya mitigasi bencana harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, TNI, Polri, hingga masyarakat.
Kepala BMKG juga mengingatkan masyarakat agar lebih waspada terhadap tanda-tanda awal bencana, seperti retakan tanah, rembesan air dari lereng, atau pohon tiba-tiba miring. Jika tanda-tanda ini terdeteksi, masyarakat diimbau segera meninggalkan lokasi rawan dan melapor kepada pihak berwenang.
Di lain sisi, masyarakat pesisir diminta menghindari aktivitas di dekat pantai saat terjadi pasang tinggi atau gelombang besar. Dwikorita Karnawati yakin kolaborasi dan koordinasi antara BMKG, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat meminimalkan dampak bencana yang mungkin terjadi.
“Kita semua harus bekerja sama untuk memastikan keselamatan masyarakat. Informasi yang kami sampaikan bukan hanya untuk meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga untuk membantu masyarakat mengambil langkah konkret dalam mengantisipasi bencana,” tutup dia.
Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, menyatakan pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengambil langkah-langkah antisipasi, termasuk memetakan jalur evakuasi, memastikan kesiapan drainase di kawasan rawan longsor, dan meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat hingga tingkat desa. Selain itu, masyarakat juga diimbau untuk memantau informasi cuaca terkini melalui kanal resmi BMKG, seperti website, aplikasi InfoBMKG, dan media sosial.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, mengatakan teknologi modifikasi cuaca (TMC) kemungkinan akan kembali diterapkan untuk mengurangi dampak curah hujan ekstrem di wilayah-wilayah tertentu. Sebelumnya, TMC telah berhasil dilaksanakan di beberapa daerah untuk mengendalikan intensitas hujan dan meminimalkan risiko banjir.
Selain itu, BMKG telah menyampaikan informasi detail mengenai wilayah berpotensi terdampak bencana, termasuk daftar kabupaten, kecamatan, dan desa yang berisiko. Informasi ini dapat diakses masyarakat dan pemerintah daerah untuk mempermudah langkah antisipasi.
(and_)