SOLO, solotrust.com - Di tengah ramainya kuliner modern, Ledre Laweyan tetap bertahan sebagai salah satu camilan tradisional dicintai banyak orang. Jajanan khas Kota Solo ini berbahan dasar ketan dan kelapa parut.
Ledre Laweyan sudah eksis sejak 1984. Bisnis jajanan tradisional ini awalnya dirintis almarhumah Sri Martini. Kini, usaha keluarga tersebut diteruskan sang putra, Susila bersama kakak, istri, dan anak-anaknya.
Mereka tetap memproduksi ledre secara tradisional dari rumah di daerah Laweyan, Solo. Kendati sederhana, Ledre Laweyan Ibu Sri Martini telah berkembang pesat. Dalam sehari, mereka bisa mengolah sekira tiga kilogram ketan menjadi lebih kurang 250 porsi ledre.
Rasa yang ditawarkan pun semakin beragam. Jika awalnya hanya rasa original, kini tersedia pula varian cokelat, keju, dan cokelat mix keju. Beberapa rasa baru lahir dari permintaan pelanggan, bahkan sempat dibuat rasa durian dan nangka, meski kemudian dihentikan karena sulitnya mencari bahan saat tidak musim.
Penjualannya dilakukan langsung di rumah dan juga secara online melalui marketplace. Namun karena proses produksinya masih manual, pesanan biasanya dikerjakan setelah pembeli menghubungi via WhatsApp. Saat musim liburan, antrean pembeli bisa mencapai satu jam lebih. Adapun untuk menjaga kualitas, keluarga ini tetap memproduksi dalam jumlah terbatas setiap harinya.
Ledre Laweyan Ibu Sri Martini juga dikenal lewat kekuatan promosi word of mouth alias rekomendasi dari mulut ke mulut dan media sosial. Susila aktif menggunakan Facebook dan WhatsApp untuk menyebarkan informasi. Banyak pembuat konten juga membantu mengenalkan ledre ini ke khalayak lebih luas.
Saat ini, Ledre Laweyan Ibu Sri Martini juga menjadi salah satu destinasi kuliner dalam wisata budaya Laweyan. Melalui program seperti Surakarta Walking Tour dan kegiatan dari Forum Kampung Batik Laweyan, para wisatawan diajak mengenal batik, sekaligus menyicipi ledre. Biasanya, mereka mampir ke rumah produksi Ledre Laweyan Ibu Sri Martini setelah berkeliling kampung batik, melihat proses nyanting, dan mengunjungi rumah-rumah tua.
“Dulu saya ikut ibu jualan waktu masih kecil. Sekarang saya teruskan usaha ini agar bisa diwariskan ke anak dan cucu saya nanti,” kata Susila kepada solotrust.com baru-baru ini.
Ia berharap Ledre Laweyan Ibu Sri Martini bukan hanya menjadi camilan, namun juga bagian dari cerita panjang budaya Laweyan yang terus hidup.
*) Reporter: Nirmala Asnaliza Mutiarasani/Rossalia Yolanda Putri
(and_)