SOLO, solotrust.com - Era Revolusi Industri 4.0 memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan di Indonesia. Salah satunya dari aspek bahasa negara, yakni Bahasa Indonesia.
Seperti disampaikan Kepala Pusat Pembinaan Bahasa Kemendikbud Gufran Ali Ibrahim yang mengatakan bahwa kini, Bahasa Indonesia memperoleh tantangan yang makin besar. Tantangan itu muncul seiring dengan makin kencangnya dinamika kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara yang telah memasuki abad ke-21.
"Dari ruang publik dapat dilihat lanskap perubahan yang sangat fundamental dalam berbagai aspek kehidupan tersebut, terutama dalam hal penggunaan bahasa asing yang makin tidak tertib dalam penamaan lembaga, pelabelan produk, dan lain-lain," terang Gufran dalam jumpa pers Semiloka dan Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Senin (30/7/2018).
Menurut Gufran, keruntuhan simbolik negara bangsa seperti itu tengah terjadi oleh karena agenda globalisasi dan kemajuan teknologi informasi serta komunikasi yang telah diproyeksi sebagai modernisasi era Revolusi Industri 4.0.
"Terabaikannya pengutamaan bahasa negara di ruang publik seolah-olah mengonfirmasi bahwa sekat-sekat geografis negara Indonesia dengan negara lain dan tanda-tanda kekhasan identitas bangsa ini telah runtuh. Karena itu, misalnya, di kalangan masyarakat terasa tidak asing lagi bentuk bahasa seperti e-money, e-banking, dan e-toll. Kemudian ada, welcome to Batam, bukan selamat datang di Batam, begitu banyak kata city di negara kita, contoh-contoh seperti itulah yang kini kerap ditemui," paparnya.
Pada saat yang sama disebutnya, agenda dan kemajuan global itu telah melahirkan generasi milenial yang diharapkan akan tercetak sebagai generasi “emas” pada tahun 2045.
"Harapan mulia itu “jauh panggang dari api” apabila generasi zaman kekinian itu tidak memiliki kesetiaan, kebanggaan, dan tanggung jawab berbahasa Indonesia di ruang publik," ujar dia.
Lebih jauh ia menuturkan, ada kecenderungan penggunaan Bahasa Indonesia melalui media sosial lebih sebagai alat pengungkap kesenangan pada hal instan dan kebiasaan merumpikan SARA daripada sebagai etos pengembangan literasi baca tulis secara komprehensif. Tantangan itu menurutnya makin besar pada era Revolusi Industri 4.0 ini.
"Dari peristiwa Solo ke era Revolusi Industri itu masih terbentang peluang untuk mewujudkan kembali semangat dan komitmen berbahasa Indonesia," katanya.
"Kita bukan menolak bahasa asing, tapi seperti semboyan utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing, itu yang harus kita garis bawahi," imbuh dia.
Menengok ke belakang, tujuh tahun sebelum pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, telah berlangsung sebuah peristiwa penting di Solo.
Peristiwa sejarah itu berupa Kongres Bahasa Indonesia (25-26 Juni 1938), yang dapat disebut sebagai forum akademik pertama untuk merencanakan pembinaan terhadap bahasa yang diangkat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tersebut.
Lanjutnya, harapan kongres di Solo agar Bahasa Indonesia mejadi resmi sebagai bahasa pengantar sehingga bahasa persatuan itu pun berkedudukan secara hukum dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi bahasa negara.
Lebih lanjut, pembinaan kedudukan hukum Bahasa Indonesia itu telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Gagasan perencanaan bahasa Indonesia telah ditaburkan dari peristiwa di Solo itu, utamanya terkait dengan ide pelembagaan bahasa kebangsaan ini pada badan-badan perwakilan yang ketika itu umumnya masih berbahasa (kolonial) Belanda.
Oleh sebab itu, pada 7-10 Agustus 2018 mendatang sebagai napak tilas 80 tahun situs memori itu, bakal digelar kegiatan Seminar dan Lokakarya (Semiloka) serta Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara di Solo sebagai “situs memori” Bahasa Indonesia guna mempertemukan para pakar baik bidang hukum, sejarah, bahasa, dan praktisi serta tokoh masyarakat. Akan ada pembahasan kondisi terkini dan pencarian bahan alternatif solusi atas permasalahan lanskap bahasa ruang publik dari tiga dimensi: bahasa, sejarah, dan hukum.
"Selain pertama karena sejarah itu, kedua karena kita berharap dari Kota Solo pengutamaan bahasa negara ini kembali dikuatkan. Dalam setiap hal aktivitas ataupun kegiatan mempriotitaskan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, sisi kebangsaan diperkuat untuk merekatkan nilai nasionalisme, sebagai bangsa kuat, dan sebagai bahasa yang kuat," tandas Gufran. (adr)
(way)