SOLO, solotrust.com – Kota Solo menyimpan banyak harta karun kuliner yang khas nan otentik. Salah satunya Ledre Laweyan yang tersimpan dalam gang yang nampak rindang di Jl. Setono RT 02/RW 02, Laweyan, Solo, sebagai tempat pembuatan ledre milik keluarga Susila.
Olahan kelapa dan ketan, dengan isian pisang raja, coklat, keju, dan telur ini sudah ada sejak 1984. Sementara, Susila adalah generasi kedua dari usaha yang didirikan ibunya, Sri Martini yang kala itu merupakan pembatik.
Jauh sebelum itu, ledre sebenarnya sudah ada sebagai salah satu makanan khas Solo. Namun, yang membedakan ledre milik Susila dengan ledre lainnya terletak pada pembuatannya; yakni tekstur ketan yang empuk lantaran dimasak dua kali dengan dikukus dan kemudian dipanggang di atas wajah. Selain itu juga terdapat aneka toping yang dikawinkan.
Susila mengungkapkan, ledre buatannya merupakan hasil modifikasi yang sudah dilakukan oleh ibunya sejak awal memulai usaha.
“Dari resep ibu, sudah memodifikasi masakan dengan cara masaknya dikukus dulu, jadi lebih empuk, lebih cepat masaknya (di wajan). Kalau dari ibu sudah pakai pisang raja,” katanya saat ditemui Solotrust.com di rumahnya, Jumat (8/4).
“Terus mengembangkan kemarin ada telur, terus nangka, durian juga pernah, cuma susah nyari bahannya kalau pesanan banyak. Setiap hari yang ada terus kan pisang, “ imbuhnya.
Lahir karena batik printing
Namun, usaha ledre milik keluarganya tak tiba-tiba lahir begitu saja. Kelahirannya justru dipengaruhi tren industri batik kala itu. Diungkapkan Susila, dulu ibunya merupakan penjual batik tulis dan cap yang dijual ke Ambarawa dan Jogja.
Susila berkisah, bersamaan dengan tren batik printing yang makin masif di 1980-an, ibunya sempat mendapat saran dari partner kerja di Ambarawa, bahwa nantinya batik tulis dan cap diprediksi bakal surut pembeli dengan hadirnya batik printing.
“Ibu dulu pertama batik, dia jual kulakan di Solo dijual ke Ambarawa sama ke Jogja. Dulu batik tulis sama cap,” terangnya.
“Terus dibilang sama orang Ambarawa itu, prediksi, ‘Bu, besok yang tulis sama cap akan kalah sama yang printing, ibu nggak usah jual lagi, soalnya kalah sama printing,” imbuh Susila menirukan penuturan orang yang menyarankan ibunya.
Orang Ambarawa yang dimaksud Susila itu lantas memberikan wajan baja untuk digunakan Sri Martini mengolah ledre. Orang Ambarawa tersebut juga menyarankan ibunya untuk memodifikasi resep ledre, dan resep tersebut dipertahankan Susila hingga saat ini.
“Terus dia ngasih wajan baja, ‘wis, koe ngawe-o iki wae (sudah, kamu bikin ini saja [ledre]-red), soalnya masih jarang orang yang makai, terus resepnya modifikasi sedikit’. Seperti tadi,” tambah Susila kembali menirukan suara orang Amabarawa.
Hingga kini, Susila masih meneruskan usaha itu dibantu seorang karyawan dan istrinya. Susila memproduksi sekira 200 buah ledre setiap hari untuk diambil berbagai pembeli oleh-oleh hingga ke beberapa hotel.
Sementara, ia juga memiliki cabang di Foodcourt Terminal Tirtonadi dan di Banyuagung, Kadipiro, Banjarsari, Solo, yang dibantu oleh kerabatnya.
Susila berharap, Ledre Laweyan resep ibunya sejak 1984 ini dapat menjadi ikon oleh-oleh Kota Batik. Lebih jauh, ia ingin menjaga keontentikan ledre modifikasi itu dengan hanya dijual di Laweyan tempatnya kini tinggal. Kendati, menurutnya hal tersebut tak mudah.
“Orang kalau nggak bawa ledre, berarti orang itu belum dari Solo. Saya pernah sekali ketemu orang seperti itu, kan pas di warung masih tutup, dia nunggu, ‘sudah lama mas saya nunggu, lha gimana kalau nggak bawa ini berarti nggak dari Solo’,” harapnya setelah mendengar kesaksian salah satu pembeli.
“Saya pengenya itu nggak ada cabang, di sini aja, tapi susah mengembangkannya,” pungkasnya. (dks)
()