Solotrust.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hadir sebagai wujud nyata komitmen negara untuk menyehatkan bangsa melalui penyediaan makanan bergizi, aman, dan terjangkau. Namun, di balik niat luhur tersebut, tersimpan tantangan yang tak sederhana. Data terbaru yang disampaikan oleh Kantor Staf Presiden (2025) menyebutkan bahwa dari total 8.583 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), hanya 34 SPPG yang telah memperoleh Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Angka ini ibarat setetes embun di tengah padang pasir yang luas, menunjukkan betapa panjang jalan yang harus ditempuh untuk memastikan sanitasi keamanan pangan di dapur-dapur pelayanan gizi (SPPG).
Fenomena ini menimbulkan kegelisahan publik, terlebih dengan meningkatnya laporan kasus keracunan makanan yang muncul di berbagai daerah, mulai dari sekolah hingga pesantren, bahkan di fasilitas umum tempat penyelenggaraan MBG. Sejak awal pelaksanaannya di tahun 2025, laporan kasus keracunan makanan massal muncul di berbagai daerah.
Data pemantauan media dan organisasi masyarakat sipil menunjukkan bahwa ribuan siswa mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi paket MBG, dengan kasus menonjol di Jawa Barat, Sulawesi, dan NTB. Beberapa di antaranya bahkan harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Fakta ini sontak mengguncang kepercayaan publik dan menimbulkan pertanyaan mendasar: haruskah program dihentikan, atau justru diperkuat?
Kasus keracunan yang meluas menunjukkan adanya celah serius dalam tata kelola keamanan pangan. Program sebesar ini tidak cukup hanya berorientasi pada ketersediaan makanan bergizi, tetapi juga harus menjamin standar mutu, higiene sanitasi, dan keamanan pangan yang ketat. Tanpa itu, program yang baik niatnya justru bisa berubah menjadi ancaman kesehatan massal.
Isu utama yang muncul bukan semata pada kualitas gizi, tetapi pada minimnya kepatuhan terhadap standar higiene sanitasi. Padahal, regulasi telah jelas mengatur: PP No. 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. menekankan pentingnya pengendalian keamanan pangan dalam setiap tahapan penyelenggaraan. Permenkes No. 17 Tahun 2024 standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di Sektor Kesehatan. mengatur kewajiban penyelenggara usaha pangan untuk memiliki izin berbasis risiko kesehatan, termasuk pemenuhan standar higiene dan sanitasi terhadap ketentuan Laik Higiene Sanitasi (LHS).
Namun di lapangan, implementasi regulasi ini seringkali masih jauh panggang dari api. Banyak SPPG sebagai dapur MBG yang belum memenuhi persyaratan dasar Higiene Sanitasi seperti pengolahan air bersih, pengelolaan limbah, pengendalian vektor, hingga pelatihan tenaga penjamah makanan. Jika ditelaah secara seksama terdapat beberapa faktor kunci penyebab lemahnya kepatuhan pada ketentuan standar SLHS di dapur-dapur MBG:
- Keterbatasan Kapasitas dan Sumber Daya:Tidak semua SPPG memiliki infrastruktur memadai. Keterbatasan sarana penyimpanan, air bersih, hingga fasilitas pengolahan sering menjadi kendala.
- Minimnya Pengawasan dan Penegakan Regulasi: Walaupun aturan sudah ada, mekanisme pengawasan masih lemah. Dinas terkait di banyak daerah menghadapi kendala keterbatasan SDM pengawas pangan.
- Kurangnya Edukasi dan KesadaranTenaga penjamah makanan, pengelola dan pengawas pada program MBG seringkali belum mendapatkan pelatihan yang memadai terkait prinsip laik higiene sanitasi dan keamanan pangan.
- Kasus LapanganDalam beberapa laporan investigasi, ditemukan insiden keracunan di sekolah akibat makanan yang terkontaminasi bakteri E. coli atau Salmonella. Kasus semacam ini tidak hanya merugikan kesehatan anak-anak, tetapi juga mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap program MBG.
Masalah ini sejatinya tidak bisa dipandang hanya sebagai kelemahan teknis, melainkan sebagai cermin keseriusan kita dalam menjaga amanah kesehatan bangsa. Program MBG bukan sekadar distribusi makanan, melainkan ikhtiar kolektif memastikan generasi mendatang tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing.
Keadaan bahwa hanya 34 dari 8.583 SPPG yang telah laik higiene sanitasi, adalah koreksi kesadaran. Angka itu bagai lentera kecil di lautan gelap mengingatkan bahwa kita harus bergegas menyalakan lebih banyak cahaya melalui perbaikan sistem, pengawasan, dan pembinaan.
Sanitasi dan keamanan pangan adalah pondasi, bukan pelengkap. Tanpa itu, gizi bergizi pun bisa menjelma menjadi keracunan. Oleh karenanya, Badan Gizi Nasional bersama kementerian dan pemerintah daerah perlu menegakkan regulasi secara lebih tegas, sekaligus menghadirkan dukungan yang memadai agar setiap dapur MBG dapat memenuhi standar.
Keberlangsungan program MBG ditentukan bukan hanya oleh semangat kebijakan, tetapi juga oleh komitmen nyata dalam menjaga keamanan pangan. Dari refleksi di atas, dapat ditarik beberapa rekomendasi:
- Penguatan Regulasi dan Pengawasan: Perlu ada sistem monitoring terpadu berbasis digital yang memungkinkan pelaporan kepatuhan SPPG secara real time.
- Peningkatan Kapasitas Dapur MBG: Pemerintah harus memberikan dukungan fasilitas sanitasi dasar, termasuk akses air bersih, alat penyimpanan, dan peralatan masak higienis.
- Edukasi dan Sertifikasi Tenaga Pengolah ; Setiap tenaga penjamah makanan wajib mengikuti pelatihan keamanan pangan dan mendapatkan sertifikat LHS/kompetensi.
- Keterlibatan Lintas Sektor; Keberhasilan MBG memerlukan sinergi antara sektor kesehatan, pendidikan, pangan, dan organisasi masyarakat. Seperti ; HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia), PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi) dan Pemerintah Daerah yang terhimpun dalam AKKOPSI (Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi).
Sikap yang bijak bukanlah memilih hitam-putih antara menghentikan atau melanjutkan program, melainkan melanjutkan dengan koreksi mendasar. Sebuah “targeted pause” atau penghentian sementara hanya di daerah atau dapur yang bermasalah, sambil memperkuat fondasi tata kelola nasional. Program MBG ibarat pedang bermata dua: ia bisa menjadi berkah gizi bagi anak-anak bangsa, tetapi juga bisa menjadi sumber musibah kesehatan bila tata Kelola laik higiene sanitasi dan keamanan pangan diabaikan. Data kasus keracunan yang telah terjadi adalah refleksi muhasabah bagi semua pihak.
Program MBG bagaikan bunga harapan yang sedang mekar. Namun, bunga itu hanya akan indah dan bermanfaat bila dipelihara dengan air yang jernih, tanah yang subur, dan sinar pengawasan yang konsisten. Keamanan pangan melalui laik higiene sanitasi bukan sekadar syarat teknis, tetapi cermin tanggung jawab moral kita sebagai bangsa.
Kini saatnya menegakkan kepatuhan, memperkuat infrastruktur, dan memulihkan kepercayaan melalui tindakan yang cepat, terukur, dan penuh empati. Dengan langkah-langkah strategis yang selaras dengan PP No. 28/2025 dan Permenkes No. 17/2024, MBG bisa kembali menjadi harapan yang aman: memberi gizi hari ini dan menjamin masa depan anak-anak Indonesia Sehat.
*) Oleh: Arif Sumantri. Penulis adalah Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta/Ketua Umum PP HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia)/Ketua Komite Ahli PMKL (Penanganan Masalah Kesehatan Lingkungan) Kementerian Kesehatan
(and_)