Hard News

Salut! Para Wanita Ini Bangkit Setelah Alami Kekerasan

Jateng & DIY

21 Mei 2019 07:08 WIB

Ilustrasi.

SOLO, solotrust.com - Tidak semua wanita mengalami kehidupan indah bak dalam dongeng. Beberapa wanita terpaksa mengalami ujian hidup seperti di sinetron. Butuh keberanian bagi mereka untuk mencari bantuan hingga dapat melalui kepahitan hidup. Wanita yang dulunya di posisi korban, kini memilih bangkit kembali meneruskan hidup, bahkan menjadi pendamping korban kekerasan.

Salah seorang mantan korban atau penyintas, Astuti, menceritakan bahwa ia mengalami masalah rumah tangga sejak tahun 2010 dan selama 3 tahun tidak bisa diselesaikan secara baik-baik. Ia tidak tahu harus mengadu pada siapa dan bahkan mengaku tidak berusaha datang ke lembaga pengada layanan. Salah satu faktornya, ia berasal dari keluarga yang dinilai sebagai tokoh masyarakat sehingga akan dianggap aib bila mencari pendampingan hukum.



Baca juga: Komnas Perempuan Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

"Pada tahun 2012 anak saya menyarankan untuk mencari pertolongan ke Rifka Annisa Women's Crisis Center Sleman. Titik cerah itu hadir ketika saya memutuskan bercerai. Akhirnya saya memutuskan gugat cerai bukan karena KDRT. Tapi saya mengajukan cerai karena suami saya sudah menikah siri di Jogja," ungkap Astuti yang terus aktif sebagai penulis.

Salah seorang penyintas lain, Atik, mengalami kejadian yang pahit. Ia mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (2013) pada tahun 2013. Bulan April tahun itu, ia baru saja melahirkan anak yang berumur 3 bulan. Sambil menangis ia menceritakan, ada perempuan datang ke rumahnya dan minta ijin dipoligami suaminya. Perempuan tersebut menjanjikan rumah dan mobil. Namun ia menolak karena hanya ingin rumah tangga yang utuh.

"Setelah itu saya tidak cerita sama siapapun, saya memendam aib di keluarga saya. Saya mau bertahan demi anak yang masih kecil masih butuh ayah. Lama-lama, suami sering pulang malam bahkan tidak pulang, orang tua tahu dan tanya. Saya jujur sama orang tua, meski saya tidak apa-apa demi anak-anak, tapi Bapak tidak ikhlas bila saya dimadu," tuturnya.

Awalnya Atik ingin bertahan dan mengharap mungkin ada keajaiban. Tapi semakin lama di rumah seperti musuh, meski di luar seolah baik-baik saja. Lama-lama ia tidak kuat tapi tidak berani cerita ke siapapun karena kasihan orang tua. Suatu ketika, Atik menemukan kondom di tas suaminya dan merasa jijik, lalu berpikir buat apa dipertahankan. Ia pun memutuskan pisah dan suami saya diusir dari rumah keluarga saya.

"Saya mampir rumah mertua suatu saat. Menemukan buku nikah suami saya padahal belum resmi cerai, saya fotokopi untuk bukti. Terus suami saya datang ke rumah menyeret saya dari kamar mandi, saya telanjang dan dihajar. Adik saya tahu dan menelpon keluarga. Saya bisa lepas, masuk kamar saya dan selimutan. Saya tidak ada kepikiran mau lapor atau ada pendampingan," ungkap Atik.

Baca juga: Catatan KPAI Terhadap Kasus Kekerasan Pada Anak Saat Ini

Usai kejadian naas tersebut, melalui teman Ibunya, Atik ikut Focus Group Discussion (FGD) SPEK-HAM dan baru mengetahui bahwa apa yang ia alami termasuk KDRT. Ia jadi malu keluar rumah dan tidak berani ketemu orang banyak. Kemudian ia memutuskan bercerai dan menjalani persidangan sampai 4 kali. Karena sejak muda dan awal menikah dulu tidak pernah bekerja, ia pun bingung mau kerja apa untuk menafkahi 2 anaknya apalagi usia tidak muda lagi.

"Akhirnya saya ikut pelatihan di Balai Kota dan dapat bantuan peralatan salon. Saya tidak ikut kursus salon karena biayanya mahal, hingga Rp 10 jutaan. Saya pun ketemu teman SMP yang punya salon kecantikan. Dia mau mengajari saya dan saya mau belajar," kata wanita yang aktif ikut pendampingan kasus.

Penyintas lain, Wid, mengungkapkan kisah pahit yang menimpa dirinya dan keluarganya. Pada 2017, keluarganya mengalami krisis keharmonisan dan keuangan. Waktu itu ada seorang laki-laki yang mau menolong dan keluarganya pun percaya begitu saja.

"Seiring berjalan waktu, dia minta imbalan, yaitu saya yang saat itu umur saya 16 tahun. Waktu itu bilangnya dia suka sama saya. Karena dia bantu banyak, ia menuntut, minta hal yang paling berharga dari saya. Karena naifnya, dengan berat hati saya kasih dan akhirnya suatu saat saya ketemu waktu itu dia punya istri dan sudah proses cerai," terangnya.

Istri dari laki-laki tersebut tidak marah pada Wid, namun justru marah pada sang suami. Kemudian wanita tersebut yang sudah memahami watak suaminya, menasehati Wid agar tidak berurusan dengan laki-laki tersebut. Akhirnya Wid berjuang agar lepas dari pria tersebut.

Parahnya, Wid tidak menyadari kalau ia hamil akibat perbuatan laki-laki tersebut. Keluarganya ingin menuntut tapi takut dan laki-laki tersebut menyarankan penyelesaian secara kekeluargaan. Pihaknya menunggu lama tapi tidak ada tanggungjawab sama sekali. Sampai hampir lahiran, mereka disuruh diam dan menurut tapi malah difitnah.

"Sampai akhirnya berani tidak berani, keluarga cari informasi lembaga yang bisa bantu kita. Karena kita menghadapi keluarga yang licik dan berpikir semua bisa ditutup menggunakan uang. Akhirnya ketemu lembaga yang bisa bantu, dari situ ditujukan ke SPEK-HAM," kata Wid.

Sebelumnya, ia pernah melapor ke Polres tapi justru dipertanyakan kenapa baru lapor. Selain itu, karena ada beberapa hal yang memberatkan di keluarganya, kasus tersebut hanya bisa diselesaikan melalui mediasi. Meski hasilnya tidak sesuai harapan Wid sekeluarga.

Direktur SPEK-HAM, Rahayu Purwaningsih mengatakan, tiga kasus yang diungkapkan para penyintas tersebut hanyalah sedikit dari sekian kasus yang terjadi di masyarakat. Karena kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es. Pihaknya menghadapi puluhan kasus kekerasan terhadap perempuan di Solo Raya tiap tahunnya.

"Pelajaran yang berharga pada saat korban bangkit dari keterpurukannya. Situasi-situasi seperti itu masih sering terjadi. Kami menghadapi 50 kasus dalam setahun," kata Ayu.

Ia menambahkan, agar para wanita yang menjadi korban kekerasan mau memberanikan diri untuk mencari pertolongan. Sebab pemerintah menyediakan layanan pengaduan salah satunya melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang ada di tiap kota /kabupaten. Atau melalui lembaga pengada layanan seperti SPEK-HAM.

Yayasan SPEK-HAM atau Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia Surakarta (Solo) berdiri sejak tahun 1998. Lembaga ini mendorong pemenuhan hak perempuan yang merupakan bagian dari pemenuhan HAM. Salah satunya lewat pendampingan penanganan kasus kekerasan berbasis gender.

"Dengan melakukan publikasi atas persoalan mendasar akan terjadinya kekerasan terhadap perempuan, semoga dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi masyarakat secara luas," pungkas Ayu.

Bagi para wanita yang membutuhkan bantuan dan pendampingan, dapat langsung datang ke Yayasan SPEK-HAM, Jl. Srikoyo No. 14 RT 01 RW 04, Karangasem, Laweyan, Solo 57145. Atau menghubungi No. Telp./Fax. (0271) 714057, email spek-ham@indo.net.id atau www.spekham.org. (rum)

(wd)