SOLO, solotrust.com – Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Solo menjelaskan kenaikan harga telur memang dipicu momen Natal dan Tahun Baru (Nataru), namun tidak dengan minyak goreng dan cabai yang meroket. Telur naik sangat signifikan antara Rp5.000 hingga Rp7.000, sedangkan harga bahan pokok lain hanya naik di kisaran Rp500 hingga Rp1.000.
Kepala Bidang (Kabid) Pengembangan Perdagangan Dinas Perdagangan Kota Solo, Wulan Tendra Dewayani, menjelaskan harga telur meningkat seiring banyaknya permintaan. Sementara kenaikan harga cabai disebabkan faktor cuaca, sedangkan minyak goreng akibat harga minyak dunia tinggi.
“Kebutuhan meningkat kan, Natal-Tahun Baru banyak yang membuat masakan memakai telur, prediksinya itu. Terus PKH (Program Keluarga Harapan) mulai dikucurkan lagi, jadi daya belinya ada. Nah itu mungkin dijadikan kesempatan untuk para pedagang, khususnya yang penjual telur,” terang Wulan Tendra Dewayani saat ditemui di kantornya, Senin (27/12/2021).
Berdasarkan pantauan, harga telur di pasar tradisional sampai hari ini di kisaran Rp30 ribu hingga Rp32 ribu per kilogram dari harga sebelumnya saat normal Rp23 ribu hingga Rp24 ribu.
Sementara harga minyak goreng curah naik dari Rp12 ribu menjadi Rp18 ribu. Minyak goreng kemasan di harga Rp19 ribu hingga Rp20 ribu dari sebelumnya harga eceran tertinggi (HET) Rp14 ribu hingga Rp14.500 per liter.
“Kalau minyak memang sudah beberapa bulan mengalami kenaikan karena CPO (Crude Palm Oil) bahan baku atau bahan mentah minyak. Memang kenaikannya luar biasa, jangkauannya lama juga karena CPO juga belum turun-turun. Bukan karena momen Nataru, sudah lama kenaikannya,” beber Wulan Tendra Dewayani.
Menurutnya, harga minyak goreng mulai meninggi sejak sekitar Oktober-November dan hingga hari ini belum mengalami penurunan. Kata Wulan Tendra Dewayani, soal harga minyak, kebijakan sudah dari pusat dan daerah hanya mengendalikan saja.
Melonjaknya harga cabai, kata Wulan Tendra Dewayani, sudah menjadi rutinitas tahunan akibat faktor cuaca. Ketika panen, curah hujan meningkat pada Desember sehingga cabai mengalami busuk atau gagal panen.
“Ini sebenarnya yang harus kita ubah manajemen musim tanamnya ya. Jadi ketika musim hujan janganlah dulu menanam cabai karena kan cabai itu rawan sekali dengan air hujan, curah hujan yang tinggi, dan akhirnya cabai jadi mahal,” beber dia.
Kendati demikian, sebenarnya untuk tingkat petani justru diuntungkan karena biaya operasional petani cukup tinggi. Ketika harga cabai di angka Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per kilogram, petani sudah untung. Namun, masyarakat keberatan dengan harga cabai melambung tinggi.
“Jadi kalau cabai bukan karena Nataru. Saat bincang-bincang TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah), Bulog, dan Disdag, momen bukan karena Natal-Tahun Baru karena memang gagal panen. Iya, memasuki musim hujan. Kan biasa hukum ekonomi supply dan demand, kalau supply kurang demand ada juga akan naik,” papar Wulan Tendra Dewayani.
Apabila dilihat perbandingannya dengan Idulfitri, pihaknya menjelaskan kondisi Nataru ini berbeda. Pertama, tidak mengalami lonjakan permintaan. Kedua, harga tidak mengalami peningkatan signifikan.
“Kalau Idulfitri iya, daging, ayam, apalagi telur itu pasti. Nataru ini daging dan ayam stabil, telur dan minyak yang meningkat, tapi tetap tidak seperti ketika Idulfitri. Apalagi sudah mulai orang punya kerja, rumah makan mulai buka. Nah itu kan otomatis. Hotel-hotel banyak kunjungan dari luar daerah,” beber Wulan Tendra Dewayani. (rum)
(and_)