SOLO, solotrust.com - Thrift shop merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menyebut barang preloved atau barang bekas. Seiring berjalannya waktu, thrift shop mulai menjamur, salah satunya Ipung yang mulai merintis usaha thrift shop sejak awal pandemi Covid-19.
Maraknya tren thrift shop di kalangan masyarakat membuat Ipung yang sebelumnya pengusaha konveksi mulai beralih ke bisnis menjanjikan tersebut.
Kendati omzetnya cukup menggiurkan, namun berbisnis baju thrift bukannya tanpa risiko. Menurut Ipung, setiap usaha pasti ada risikonya, apalagi membeli baju thrift ini ibarat beli kucing dalam karung.
“Saat membeli baju thrift itu ada tiga kategori baju, ada grade A yang berarti baju dengan merek dan bentuk yang masih bagus, grade B yang masih layak, dan grade C merupakan baju di bawah grade B,” jelasnya
Selain Ipung, ada pelaku usaha lainnya yang ikut banting setir ke bisnis thrift shop, yakni Toko Nonik yang berlokasi di depan kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Pemilik toko merasa masa pandemi seperti ini sangat sulit untuk mencari pasar karena ekonomi benar-benar anjlok. Saat melihat ada peluang membuat mereka beralih ke bisnis thrift.
Masyarakat pun kini lebih memilih belanja barang thrift ketimbang barang baru karena dari sisi harga jelas lebih terjangkau dan terlihat modis saat dipakai.
“Aku lebih memilih beli barang thrift daripada beli baru karena harganya jauh lebih murah dan modelnya banyak yang vintage. Untuk masalah kualitas tinggal nyari toko yang bagus terpercaya serta barang yang nggak terlalu mahal, tapi kalau adanya tipis-tipis ya mending cari yang lebih berkualitas aja. Oh ya, juga harus pintar-pintar menawar,” ujar salah seorang konsumen, Kirana. (diva/putri)
(and_)