SOLO, solotrust.com - Data Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kota Solo (UPT PTPAS) Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat mencatat kenaikan kasus kekerasan anak dan perempuan, yakni dari 56 kasus kekerasan pada 2020 naik menjadi 79 pada 2021.
Direktur Pelaksana Yayasan Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia (YAPHI) Solo, Hariyati Panca Putri, menyebut kenaikan kasus kekerasan dipengaruhi multifaktor. Salah satu penentu utamanya ialah perkembangan teknologi dan tingginya penggunaan gagdet. Ditambah, situasi pandemi sejak 2020 memicu peningkatan penggunaan gadget dalam segala lini.
"Keterbukaan informasi ini begitu buka di gadget itu sangat luar biasa. Anak-anak biasanya meniru dalam proses di gadget itu, jadi dampaknya luar biasa," katanya dalam acara Nonton Film Bareng dan Diskusi Publik di Loji Gandrung, Solo, Rabu (24/08/2022).
Peran orangtua menjadi penting dalam memberi bimbingan situasi dewasa ini. Dalam kasus ini, pola orangtua juga mesti menyesuaikan.
"Dari belajar melalui gadget, maka memang kita sebagai orangtua harus belajar pola asuh di media sosial ini harus bijaksana sebagai orangtua," tutur Hariyati Panca Putri.
Diungkapkan pula, tingginya kasus itu belum termasuk dengan kasus-kasus selama ini masih mengendap alias belum dilaporkan.
"Ini belum dengan yang belum terlapor, jadi fenomenanya gunung es ya, dan masa pandemi meningkat dengan situasi keluarga yang tentu baru, ini tekananya juga luar biasa," lanjutnya.
Untuk itu, perlu dibangun suatu sistem pola asuh dari segala lini, termasuk stakeholder pemerintah. Perlu pula adanya langkah-langkah membatasi penggunaan gadget dewasa ini.
Kendati tak bisa dimungkiri, gadget tak bisa dilepaskan dari segala kebutuhan. Namun, menurutnya masih memungkinkan penggunaan gadget diminimalisasi sesuai kebutuhan pokok.
"Bagaimana pun gadget tidak bisa dibatasi dan itu juga menjadi proses kebutuhan, hanya saja sekarang melakukan penyadaran apa yang penting dan apa yang tidak penting," ujar Hariyati Panca Putri.
Pola pendidikan mesti lebih menumbuhkan kesadaran terhadap pengetahuan. Pendidikan ini, mesti dibangun dari segala lini, baik sekolah maupun orangtua.
Dikatakan, norma-norma seperti agama yang selama ini menjadi tameng untuk mengantisipasi hal tersebut juga belum cukup. Dengan begitu, perlu elaborasi terhadap hal-hal itu dari semua pihak.
"Lalu di proses ini adalah sekolah harus punya pendidik. Ada satu proses pendidikan untuk lebih pendidikan seksualitas lebih ke reproduksi anak-anak, bukan kita mengatakan tidak [boleh], tetapi justru dibangun dengan proses pendidikan pengetahuan yang lebih baik dari sekolahan," papar Hariyati Panca Putri.
"Peran orangtua di rumah itu sangat luar biasa juga kalau kita hanya mengandalkan norma agama, itu ada missing gitu ya, penting iya agama sebagai remoralitas, tapi nampaknya tidak bisa hanya diomongkan, tapi perlu proses yang praktis," tambahnya.
Sementara itu, kasus di atas meliputi kekerasan seksual, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hak asuh anak, perdagangan, pencurian, kekerasan dalam pacaran, dan bullying. (dks)
(and_)