Solotrust.com- Hari ini, 2 Mei 2018, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Sejarah Hari Pendidikan Nasional tidak lepas dari sosok dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dialah pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di era kolonialisme.
Ki Hadjar Dewantara yang bernama asli Suwardi Suryaningrat lahir dari keluarga ningrat di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Meski berasal dari kaum ningrat, keluarga Ki Hadjar Dewantara tidak bergelimangan harta. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat belajarnya.
Setelah Setelah Tamat Sekolah Dasar III Belanda pada tahun 1904, Ki Hadjar sempat mengalami kebingungan untuk meneruskan sekolahnya. Ia tidak hanya bingung karena masalah siapa yang membiayai sekolahnya, tapi juga kemana ia harus meneruskan sekolahnya. Maklum, keluarganya tidak cukup berada dibandingkan kerabat keluarganya yang lain. Selain itu, ayah Ki Hadjar yang cacat netra sejak lahir juga merupakan suatu alasan tersendiri.
Ki Hadjar sempat masuk sekolah guru di Yogyakarta, tapi tidak sampai tamat. Kemudian ia mendapatkan tawaran beasiswa sekolah dokter Jawa (STOVIA). Sayangnya, dia tidak berhasil menamatkannya karena sakit selama 4 bulan.
Akhirnya, ia bekerja menjadi seorang wartawan di beberapa media surat kabar, seperti De Expess, Utusan Hindia dan Kaum Muda. Dia menulis esai berjudul Als ik een Nederlander was… (Seandainya saya seorang Belanda….). Esai ini merupakan kritik yang sangat tajam terhadap pemerintah kolonial yang ingin menyelenggarakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di daerah jajahan. Karena kritikan itu, Ki Hadjar kemudian dikirim ke Negeri Belanda selama enam tahun (1913-1919).
Di tanah pengasingan, dia bertemu dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangonkoesoemo. Mereka memanfaatkan masa-masa pembuangan itu untuk belajar banyak hal, termasuk pandangan-pandangan tokoh-tokoh besar dalam pendidikan seperti J.J. Rousseau, Rabindrant Tagore, John Dewey, Kerschensteiner, Dr. Frobel dan Dr. Montessori.
Dua tokoh yang terakhir itu agaknya yang kemudian mempengaruhi konsep pendidikan Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hadjar Dewantara setelah pulang dari Negeri Belanda. Menurut Ki Hadjar, pendidikan mampu membawa masyarakat Indonesia merdeka.
Konsep pendidikan yang diterapkan Tamansiswa merupakan kritik terhadap sistem pendidikan penjajah. Pada pemerintahan Belanda, pendidikan hanya diperuntukan bagi kaum bangsawan maupun pegawai pemerintah, sehingga rakyat jelata tidak bisa bersekolah.
Perguruan Tamansiswa pun akhirnya didirikan untuk menampung minat masyarakat Indonesia yang ingin bersekolah, tanpa persyaratan khusus. Kehadirannya membuka kesempatan bagi semua orang untuk bersekolah secara mudah dan murah. Tak mengherankan, dalam kurun waktu delapan tahun, Perguruan Tamansiswa memiliki ratusan cabang dengan jumlah ribuan murid. (mia)
(wd)