Hard News

Dugaan Maladministrasi, Warga Kentingan Baru Laporkan Pemkot Surakarta Ke Ombudsman

Jateng & DIY

15 September 2018 12:02 WIB

Kuasa Hukum warga Kentingan Baru Emmanuel Gobay, SH, MH menunjukkan laporan warga terhadap Pemkot Surakarta kepada Ombudsman di Kentingan Baru, Jumat (14/9/2018). (solotrust-adr)

SOLO, solotrust.com -  Warga Kentingan Baru, Jebres, meminta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta untuk melaporkan aparatur negara, dalam hal ini Pemkot Surakarta, kepada Ombudsman Republik Indonesia atas keterlibatan dalam perkara perdata sengketa lahan Kentingan Baru yang terletak di timur Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Melalui Kuasa Hukum warga Kentingan Baru, Emmanuel Gobay, warga mengirimkan surat keberatan dengan nomor 52/SK/LBH-YK/VIII/2018 kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surakarta dan ditembuskan kepada Wali Kota Surakarta, Polresta Surakarta, Satpol PP Kota Surakarta, Polsek Jebres, dan Koramil Jebres.



"Kita tembuskan ini karena berdasarkan keterangan dari warga mereka semua terlibat sehingga surat keberatan ini kami tembuskan. Harapannya untuk tidak lagi melakukan tindakan yang tidak profesional," ujar Edo sapaan akrabnya, saat ditemui solotrust.com di Kentingan Baru, Jumat (14/9/2018).

Keterlibatan institusi negara itu disebutnya mulai dari Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surakarta yang menerbitkan surat izin pengukuran tanah di Kentingan Baru.

Adapun Surat Keputusan Wali Kota Surakarta Nomor 845.05/17.2/1/2017 tentang Tim Penyelesaian Hunian Tidak Berizin di Kentingan Baru terbit pada 8 Maret 2017.

Salah satu dasar hukum dikeluarkannya keputusan tersebut adalah PERPPU Nomor 51 Tahun 1996 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin.

Selain itu, warga Kentingan Baru dinilai melakukan pelanggaran terhadap Perda nomor 8 tahun 2016 tentang Bangunan Gedung dengan tidak memenuhi persyaratan administratif bangunan, meliputi status hak atas tanah, status kepemilikan gedung serta izin mendirikan bangunan (IMB).

Di lain sisi, warga berpendapat sejumlah petugas yang mendatangi permukimannya bukan hanya dasar Perda tersebut melainkan menjalankan SK yang diterbitkan oleh Wali Kota.

Edo beranggapan, SK Wali Kota tersebut ada berdasarkan adanya pengaduan dari pihak yang mengklaim punya sertifikat tanah di Kentingan Baru. Ia menyebut, pihak pemilik sertifikat tanah mengaitkan Pemkot ke dalam persoalan perdata, yang seharusnya tidak boleh ada intervensi Pemkot.

"Menurut saya, SK dikeluarkan atas permintaan pemilik sertifikat," kata dia.

Edo mengungkap, dari tahun 2013 pihaknya sudah melayangkan surat audiensi kepada BPN untuk meminta buku tanah di kawasan seluas 2 hektare yang terdiri atas 8 blok tersebut, namun upayanya sia-sia, BPN tak mau membuka buku tanah.

"BPN berkelakar alasannya warga tidak punya hak untuk mengakses buku tanah, padahal buku tanah merupakan data publik yang bisa diakses siapapun," bebernya.

Dengan sikap BPN yang tidak kooperatif, semakin memantapkan keyakinan Edo ada maladministrasi dalam penerbitan sejumlah sertifikat itu.

"Kami menduga status sertifikat tidak beres," terangnya.

Puncaknya, atas dasar-dasar itu, kemudian petugas BPN melakukan tindakan pengukuran tanah tanpa didasari surat pemberitahuan yang dilaksanakan pada tanggal Selasa (28/8/2018) lalu dengan kawalan ratusan aparat gabungan.

"Petugas melakukan pengukuran tanpa didahului dengan surat pemberitahuan baik kepada warga maupun kepada kami (LBH Yogyakarta) selaku kuasa hukum dari warga Kentingan Baru," ujarnya.

Lanjut dia, dalam pengukuran tanah yang melibatkan BPN Surakarta, polisi, tentara, Satpol PP menimbulkan kericuhan hingga berdampak buruk pada psikologi dan keamanan warga di Kentingan Baru.

"Warga jadi tidak nyaman, bahkan ada ibu-ibu yang hamil didorong oleh petugas, semua ada dalam video," tukasnya.

Menurut Edo, proses yang dilakukan BPN tidak sesuai dengan Petunjuk Teknis Nomor: 01/JUKNlS-300/2006 Tentang Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Sistemik Lengkap.

"Dalam aturannya semestinya terdapat surat pemberitahuan apalagi di tanah tersebut sudah ada penghuni yang tinggal menetap selama delapan belas tahun (18 tahun)," jelasnya.

Ia mengungkap, BPN Kota Surakarta selaku pejabat publik dalam tindakannya tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta sebagaimana diatur juga dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Maka dari itu, warga Kentingan Baru menyatakan sejumlah keberatan dan tuntutan. Pertama, menggugat petugas BPN Kota Surakarta yang bekerja tidak patuh terhadap aturan hukum yang berlaku sesuai dengan Undang-undang 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta sebagaimana diatur juga dalam Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Kedua, kami juga mendesak petugas BPN Kota Surakarta untuk tidak melakukan sesuatu yang memancing atau memprovokasi warga untuk melakukan tindakan-tindakan melangar hukum (upaya kriminalisasi warga)," tandasnya sambil menunjukkan surat keberatan.

Meruntut realitas peristiwa itu, warga melalui kuasa hukumnya menduga ada tindakan maladministrasi yang dilakukan Pemkot Surakarta yang semestinya tidak boleh ada intervensi Pemkot Surakarta maupun aparatur negara lain dalam kasus perdata antarmasyarakat sipil.

"Dengan hadirnya SK Wali Kota tersebut kami menyimpulkan ada maladministrasi di sana karena SK dikeluarkan untuk menangani kasus perdata sengketa antara masyarakat sipil, itu temuan maladministrasi. Selain penerbitan sertifikat yang bermasalah," jelas dia.

Kemudian, berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 28 Agustus 2018 itu Pemkot Surakarta dilaporkan kepada Ombudsman Republik Indonesia atas laporan pengaduan keberatan terkait tidak dilanjutkannya permohonan data tanah dan penerbitan sertifikat di atas bidang tanah sengketa. Laporan itu kemudian sudah diterima ORI pada 6 September 2018.

"Kami laporkan dugaan adanya pelanggaran maladminiatrasi penerbitan sertifikat yang bermasalah dan SK Wali Kota terkait izin pengukuran tanah. Kami minta ORI turun lapangan lakukan investigasi," tegas dia. (adr)

(way)