Hard News

Kudeta Myanmar: PBB Serukan Embargo Senjata Militer

Global

19 Juni 2021 14:41 WIB

Aksi demonstrasi warga Myanmar menentang kudeta militer (Foto: BBC/Reuters)

Solotrust.com - Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mengeluarkan seruan untuk menghentikan penjualan senjata ke Myanmar sebagai tanggapan atas kudeta militer tahun ini.

Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang mengutuk junta militer setelah menggulingkan pemerintah terpilih pada Februari lalu. PBB juga menyerukan pembebasan tahanan politik, seperti pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan menuntut diakhirinya kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai.



Meskipun tidak mengikat secara hukum, resolusi tersebut secara politik cukup signifikan.

"Risiko perang saudara skala besar adalah suatu hal nyata," kata utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener kepada Majelis Umum, dikutip dari BBC, Sabtu (19/06/2021).

"Waktu menjadi sangat penting. Kesempatan untuk membalikkan pengambilalihan militer semakin menyempit," tambahnya.

Resolusi ini didukung 119 negara, hanya Belarus satu-satunya negara yang memilih menentangnya. Sementara 36 negara lainnya abstain, termasuk Rusia dan Tiongkok, dua pemasok senjata militer terbesar Myanmar.

Beberapa negara yang abstain mengatakan krisis adalah masalah internal bagi Myanmar. Sementara yang lain mengatakan resolusi itu tidak membahas kekejaman militer terhadap populasi Muslim Rohingya empat tahun lalu. Hampir satu juta warga, bahkan harus terusir dari negaranya.

Duta Besar Uni Eropa untuk PBB, Olof Skoog, mengatakan resolusi itu mendelegitimasi junta militer, mengutuk penyalahgunaan dan kekerasannya terhadap rakyat, serta menunjukkan keterasingannya di mata dunia.

Duta besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun yang mewakili pemerintah sipil terpilih di negara itu, mengaku kecewa dengan berapa lama waktu yang dibutuhkan Majelis Umum untuk meloloskan apa yang dia sebut sebagai resolusi yang dipermudah.

Suu Kyi (75) menjadi tahanan rumah sejak kudeta militer. Tak banyak kabar tentangnya, kecuali beberapa kali muncul di pengadilan.

Militer telah mengonfirmasi pengambilalihan kekuasaan pada Februari. Mereka menuduh ada kecurangan dalam pemilihan umum (Pemilu) yang digelar November lalu.

Sementara, pemantau pemilihan independen mengatakan pemilu telah dilaksanakan secara bebas dan adil. Tuduhan kecurangan terhadap Suu Kyi telah banyak dikritik karena bermotif politik.

Kudeta itu memicu demonstrasi meluas. Militer Myanmar pun bereaksi secara brutal, menindak pengunjuk rasa, aktivis, dan jurnalis prodemokrasi.

Menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), pasukan keamanan telah membunuh lebih dari 860 orang dan menahan hampir 5.000 warga hingga saat ini,

Pada Mei lalu, Human Rights Watch telah mendesak Majelis Umum PBB untuk mengeluarkan resolusi yang menyerukan embargo senjata. Mereka mengatakan meskipun tidak mengikat secara hukum pada negara-negara, resolusi seperti itu akan membawa bobot politik signifikan.

"Pemerintah harus mengakui bahwa senjata yang dijual ke militer Myanmar kemungkinan akan digunakan untuk melakukan pelanggaran terhadap penduduk. Embargo senjata dapat membantu mencegah kejahatan semacam itu," tandas organisasi itu. (and)

(and_)

Berita Terkait

Berita Lainnya