BOYOLALI, solotrust.com - Warga di wilayah lereng Gunung Merbabu, tepatnya Dukuh Gunung Wijil, Desa Gubug, Kecamatan Cepogo, Boyolali setiap memasuki Bulan Sapar dalam penanggalan Jawa selalu melakukan tradisi saparan. Kegiatan ini sudah menjadi tradisi turun temurun sejak zaman dulu.
Menurut tokoh masyarakat setempat, Putut Tetuko, tradisi saparan sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang dulu hingga sekarang.
“Ini sudah menjadi tradisi, kami cuma meneruskan saja. Dalam tradisi ini, orang yang lebih muda mengunjungi yang tua, datang ke rumah-rumah atau jalin silaturahmi,” katanya kepada wartawan, Senin (19/09/2022).
Sebelum menjalin silaturahmi, warga terlebih dulu melakukan tradisi kenduri di sebuah makam dukuh setempat.
“Pagi-pagi warga membawa berbagai jenis makanan, seperti tumpengan, sayuran, buah buahan, kue dibawa ke makam, didoakan oleh sesepuh dukuh,” jelas Putut Tetuko.
Ada perbedaan silaturahmi pada saat Hari Raya Idulfitri dengan tradisi saparan. Kendati sama-sama berkunjung ke rumah untuk menjalin silaturahmi, namun dalam tradisi Saparan tidak saling memaafkan. Warga hanya datang untuk berkunjung, makan dan minum.
“Idulfitri umumnya datang saling memaafkan, sedangkan di saparan ini sebatas datang, makan, minum, ngobrol-ngobrol sebentar, udah gitu terus pulang,” ungkap Putut Tetuko.
Salah satu warga asal Mojosongo, Rohmato, mengaku setiap satu tahun sekali selalu datang mengikuti tradisi saparan di Dukuh Gunung Wijil Desa Gubug, Cepogo. Selain menjalin silaturahmi, tradisi ini juga sebagai ajang bertukar pengalaman.
“Setiap Bulan Sapar, saya selalu dikabari untuk datang ke sini. Tentunya senang karena kan jarang ketemu,” ucapnya.
Tradisi seperti ini, menurut Rohmato harus terus dilestarikan. Selain menjalin silaturahmi sesama keluarga dan teman, bisa pula sebagai ajang bertukar pengalaman.
“Tradisi seperti ini hanya saya temui di daerah Cepogo ini, kalau desa lain di Boyolali ini saya belum pernah mendengar sih,” tukasnya. (jaka)
(and_)