YOGYAKARTA, solotrust.com – Pedagang kaki lima (PKL) Malioboro memadati Gedung Balai Kota Yogyakarta, Senin (18/09/2023). Seruan aksi ini merupakan buntut dari tidak diindahkannya permintaan para pedangang kawasan Malioboro.
“PKL bukan antipemerintah. Kami datang bukan untuk anarki, tapi untuk menagih janji,” sorak salah satu orator pada aksi solidaritas tersebut.
Aksi demonstrasi ini buntut dari tidak dilaksanakannya janji saat audiensi pada 8 September 2023 lalu, yakni DPRD menyanggupi untuk menjadi fasilitator dalam pertemuan antara PKL Malioboro dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kawasan Cagar Budaya dan Dinas Budaya Kota Yogyakarta.
Seyogyanya pertemuan itu akan membahas dan mencari solusi bersama terkait permasalahan validasi data pedagang, kontraktual, pendapatan pedagang menurun, serta rencana relokasi tahap II yang sampai saat ini belum tahu ujungnya.
Dalam pers rilis disampaikan, semua ini beranjak dari minimnya partisipasi publik dan transparansi pengelolaan Teras Malioboro II dan relokasi PKL Malioboro pada Februari 2022 silam. Selain melakukan aksi damai di Balai Kota Yogyakarta, PKL Malioboro juga secara langsung mengirimkan surat terbuka serta ingin bertemu langsung dengan PJ Wali Kota Yogyakarta.
Adapun isi dari surat terbuka yang ingin disampaikan PKL Malioboro terhadap PJ Wali Kota Yogyakarta, yakni adanya perlakukan diskriminatif, minimnya partisipasi dan transparansi oleh UPT Kawasan Cagar Budaya dan Dinas Budaya Kota Yogyakarta dalam melakukan validasi data dan kontraktual terhadap PKL Malioboro II, serta dalam hal ini kepastian terhadap relokasi tahap II juga ikut dipertanyakan.
Salah seorang demonstran juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap PJ Wali Kota Yogyakarta yang tidak mengindahkan berbagai aspirasi pedagang.
“Dulu kami datang baik-baik dengan surat ora ditompo (tidak diterima), ora ditemoni (tidak ditemui), malah foto sama paskibraka,” ucap demonstran lantang.
Pengurus Paguyuban Tridharma, Supriyati mengaku sudah berkirim surat sejak Juni lalu, namun hingga kini belum mendapat jawaban dan kepastian. Ia juga menyampaikan dari pihak pemerintah menyatakan sudah menyampaikan ke Dispo, namun paguyuban tidak mengetahui akan kebenarannya.
“Kami PKL juga bersepakat jika tidak ada lagi komunikasi dari PJ Wali Kota, kami datang ramai-ramai. Lah ini kami buktikan, bahwa kami tuh’ omongan kami memang benar adanya. Bahwa kami tuh di sini bersurat itu karena keinginan anggota semua, bukan hanya pengurus saja,” terangnya.
Salah seorang PKL Malioboro, Febriani juga turut menceritakan permasalahan ini bermula saat relokasi berlangsung. Pedagang diberikan edaran dan diminta untuk mengisi data. Pada surat edaran itu juga tercantum pertanyaan “setuju atau tidak dengan relokasi ini?”. Setelah itu, ada beberapa orang dikumpulkan kembali, ternyata mereka adalah orang-orang yang berkata tidak.
“Pada saat dipanggil itu terdapat informasi yang mengatakan bahwa ‘ya kalau tidak mau ya sudah, gak dapat lapak’, berarti secara tidak langsung kami seperti digiring. Adapun yang menjadi pertanyaan adalah kenapa harus ada blanko yang disuruh isi dan ada pertanyaan ‘setuju atau tidak.’ Namanya data kalau tidak setuju harusnya di-follow up, bukan malah diancam begitu,” terang Febriani.
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta juga turut andil dalam mengawal kasus PKL Malioboro yang masih berjalan. Mereka menyampaikan ada dua poin utama digaungkan pada permasalahan ini, yakni transparansi dan partisipasi. Dalam artian PKL Malioboro sangat terbuka dengan ruang dialog, namun setelah beberapa kali bersurat PKL Malioboro tak kunjung mendapat respons significant dari pemerintah kota.
Karenanya, kata perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Raka, seluruh PKL Malioboro datang ke sini untuk menemui langsung pemerintah kota, menyampaikan apa yang menjadi masalah mereka.
"Mulai dari pendapatan menurun, infrastruktur masih dirasa tidak layak, serta yang terdekat masalah pendataan kotraktual pedagang di Teras Malioboro II yang terkesan ditutup-tutupi dan tidak transparan,” ungkapnya.
Raka juga menyampaikan ketidaktransparan pada kasus ini adalah dengan tidak secara aktif melibatkan paguyuban pedagang yang telah terbentuk dalam hal apapun. Padahal, saat prarelokasi yang dilibatkan adalah paguyuban, mengingat para PKL mengorganisasi membentuk paguyuban.
Namun, saat sudah berada di Teras Malioboro II ada kesan paguyuban dihilangkan keberadaannya dalam proses pendataan anggota atau pedagang. Hal itu yang kemudian menjadi masalah, mengingat hanya paguyuban paling mengerti, kemudian ada berapa yang sebenarnya pedagang asli di sepanjang Jalan Malioboro.
“Mengingat, ini yang paling penting dan perlu diketahui bahwa di Teras Malioboro II berdasarkan data yang kami dapat dari pemerintah kota, ada 1041 pedagang kaki lima (PKL), di mana salah satu paguyubannya adalah Tridharma beranggotakan 923 PKL," beber Raka.
"Masa dengan paguyuban sebesar itu, akan tetapi paguyubannya tidak dilibatkan secara aktif. Nah ini kan membuat, ada kesan diskriminatif dan ditutup-tutupi. Apalagi kalau kita lihat paguyuban yang lain itu dilibatkan pengurusnya,” tukas dia.
*) Reporter: Alan Dwi Arianto
(and_)