Solotrust.com – Dua mahasiswa di Semarang baru-baru ini melakukan tindakan suicide atau bunuh diri di waktu nyaris berdekatan. Kasus ini tentu menjadi sorotan banyak pihak, termasuk Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menyatakan Indonesia darurat kesehatan mental.
Drg R Vensya Sitohang M Epid, mengungkap kasus bunuh diri pada 2022 menyentuh angka 826 orang.
"Angka ini meningkat 6,37 persen dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (2018), yakni 772 kasus,” imbuhnya, dikutip dari sebuah sumber.
Catatan kasus tindakan bunuh diri di Indonesia jauh lebih tinggi jika dibandingkan catatan kasus terbanyak di Singapura pada 2023 dengan jumlah mencapai 476 orang. Kendati demikian, pihak Kemenkes RI juga masih melakukan validasi dan melihat kembali catatan kasus tersebut sepanjang 2023.
Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) melalui dr Khamelia Malik menyatakan pencatatan kasus bunuh diri di Indonesia sendiri terbilang sulit, mengingat faktor pemicu harus berdasar rekam medis dari pelaku.
Fakta menyebutkan kasus suicide ini tidak menjadi tanggungan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, sehingga sebagian besar dokter merasa dilema untuk memberkan diagnosis pasti terhadap pelaku tindak bunuh diri.
Adapun untuk menanggulangi hal itu, Khamelia Malik menyebut sebagian dokter memberikan keterangan meninggal karena adanya gangguan kejiwaan (depresi).
"Kalau kita di rumah sakit membuat pencatatan kasus ya, nah pencatatan kasus itu berdasarkan rekam medis, ada kerepotan mengikuti karena kasus-kasus melukai diri sendiri, atau menyebabkan perlukaan diri itu secara pembiayaan tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan," terang Khamelia Malik dalam konferensi pers Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.
Menilik ke belakang dari banyaknya kasus serupa, di media sosial juga heboh dengan pemberian framing masing-masing. Banyak sekali tanggapan warganet yang terus menerus membahas terkait kasus sedang terjadi. Bahkan selama sepekan dari kasus itu terjadi masih saja bersliweran konten bunuh diri atau kesehatan mental.
Memang saat ini arus informasi menjadi sangat pesat perkembangannya, bahkan dengan sekali klik sudah bisa diakses semua orang. Apakah hal ini salah? Tentu tidak karena kita sudah hidup berdampingan dengan era teknologi informasi. Namun, banyak orang masih belum bijak dalam menanggapi isu sedang terjadi dan ramai diperbincangkan, terkhusus pada kasus kesehatan mental dan dampaknya.
Semakin ke sini media sosial banyak digunakan sebagai wadah dalam mengampanyekan terkait kesehatan mental. Di lain sisi banyak di antara masyarakat aware terkait kesehatan mental dan lingkungannya.
Namun sejatinya bukan itu yang bahaya, banyak pengguna belum memahami terkait kampanye itu dibuat. Banyak di antara pengguna malah membuat diagnosis sendiri atas gejala yang mereka alami tanpa mengonfirmasi ke pihak lebih memahami.
Self diagnosismenjadi dampak buruk dari trend campaign isu mental health. Mempunyai penyakit mental seakan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri untuk sebagian gen-Z.
Self diagnosismembuat banyak gen-Z menjadi bermental lemah. Tentu ini tidaklah dibenarkan, sudah seharusnya ketika banyak yang mengampanyekan terkait seruan kesehatan mental lantas tidak membuat mereka mudah berspekulasi dan menyimpulkan sesuatu.
Ada pula konten-konten membahas isu sedang terjadi yang kemudian menjadi buah bibir selama beberapa waktu. Sama halnya dengan kebiasaan jika konten itu terus dikonsumsi seseorang, tidak menutup kemungkinan ia akan merasa terdoktrin dengan trigger konten yang sedang ramai. Hal ini juga menjadi tidak bijak ketika ranah seharusnya dicegah malah menjadi malapetaka bagi orang lain.
Mulai dari konten campaign, konten isu kasus hangat, hingga adanya dampak negatif self diagnosis, semuanya berkemungkinan untuk menjadi faktor dari kesehatan mental seseorang yang benar-benar rusak. Sudah seharusnya semua pengguna media sosial peduli pada konten yang dikonsumsi di tengah arus informasi semakin pesat. (Alan Dwi Arianto)
*) Berbagai Sumber
(and_)