SOLO, solotrust.com - Sejarah memang sesuatu yang penting untuk dipelajari, tetapi bukan hal yang mudah untuk mempelajari sejarah. Ini disebabkan sejarah tidak pernah bersifat tunggal. Sebagai sesuatu yang terjadi di masa yang terlah berlalu membuat apa yang kemudian saat ini kita pahami sebagai narasi tentang ‘sejarah’ sejatinya merupakan sekadar tafsir atau interpretasi manusia dari generasi yang lebih kemudian terhadap apa yang terjadi di masa sebelumnya.
Dan ketika sejarah yang kita pahami saat ini merupakan tafsir, maka tafsir dominan sering kali merupakan tafsir yang eksis sebagai implikasi dari kemenangan suatu aktor sosial dalam kontestasi memperebutkan dominasi sosial, politik, kultural, bahkan ekonomi, untuk kemudian dominasi tersebut dapat membuat narasi-narasi yang mereka miliki akan menjadi diskursus dominan dalam masyarakat yang sering kali pula dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Tentang isu komunisme di Indonesia, tanpa kita sadari penyikapan kita sangat ditentukan oleh ‘masa’. Makna terpentingnya adalah, cara pandang kita terhadap isu ini sangat ditentukan terkait posisi politik seseorang atau suatu kelompok terkait apakah mereka menjadi pemenang ataukah pecundang.
Ketika Orde Baru berjaya, semua orang melihat komunisme sebagai hantu, sebagai momok, bahkan sebagai penyakit sosial yang dilabelkan pada mereka yang patut dan harus disingkirkan. Kini, ketika roda masa berputar dan Orde Baru runtuh, maka kebencian kita pada Orde Baru kemudian membuat seolah semua adalah rekayasa Pak Harto dan Orde Baru, lalu PKI mutlak sebagai korban, bahkan mungkin pahlawan bagi sebagian orang.
Baca Juga: Fenomena Bahaya Laten Komunisme di Era Sekarang (I)
Cara pandang yang sentimentil dan emosional semacam ini bukan cara pandang yang ideal dalam melihat sejarah. Dalam konteks memahami komunisme dan sejarah pergerakannya di Indonesia, saya kira faktor terpenting untuk menjadi jalan masuknya adalah memahami terlebih dulu pandangan dan gagasan komunisme menurut Marx dan Engels, serta Lenin dan Mao, lalu kemudian melihat bagaimana itu dipraktikkan dan diimplementasikan di banyak negara.
Setelah memahami apa dan bagaimana komunisme, baru kita bisa beranjak dengan melihat aspek paling rumit dari semua ini, yaitu menyimak perdebatan dan perbedaan pandangan terkait PKI dan relasinya dengan aktor-aktor politik utama lainnya ketika itu, yakni Bung Karno, Angkatan Darat, Pak Harto, serta konstelasi global pada masa itu pula.
Baca Juga: Fenomena Bahaya Laten Komunisme di Era Sekarang (II)
Telaah yang komprehensif ini kemudian tidak cukup dilakukan pada apa yang terjadi pada 30 September atau 1 Oktober dan sesudahnya sampai 1968. Justru memiliki pengetahuan terkait apa yang terjadi sejak 1955, hingga puncak kegentingan politik Indonesia masa itu sejak 1960-Agustus 1965 menjadi faktor penting yang tidak bisa diabaikan untuk memiliki pengetahuan yang utuh tentang apa yang terjadi pada masa itu.
*Oleh: Rezza Dian Akbar, SIP. M.Sc. Penulis adalah sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS)
(and_)